Tugas Individu
S E M A N T I K
DISUSUN OLEH :
Viktor Risman Zega
NIM 092124085
Dosen Pengampu,
Sinufa Gulo, S.Pd.
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (IKIP) GUNUNGSITOLI
FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI (FPBS)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
MEI 2012
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan
hati, penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkat dan anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas dalam bentuk makalah ini tepat pada
waktunya. Dalam menyelesaikan tugas ini, penulis sudah berupaya semaksimal
mungkin dalam menyelesaikan tugas dalam
bentuk makalah ini.
Pada kesempatan ini juga,
penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sinufa Gulo, S.Pd.,
pengampu mata kuliah Semantik atas arahan dan bimbingan
dalam menyelesaikan tugas ini. Dan juga kepada rekan-rekan yang turut memberi masukan dan partisipasi
lainnya dalam menyelesaikan tugas ini hingga dapat terselesaikan dengan baik.
Dalam membuat tugas makalah
ini, penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan. Untuk itu, kami
sangat mengharapkan kritik, saran, dan pertanyaan yang bersifat membangun
sehingga tugas makalah ini menjadi lebih sempurna lagi.
Harapan penulis, kiranya makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Gunungsitoli,
Mei 2012
Penulis,
Viktor
Risman Zega
NIM 092124085
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ………………………………………………………………………… i
Daftar Isi ………………………………………………………………………………... ii
BAB I Konsep Makna Berdasarkan Beberapa
Pendekatan dan Teori Linguistik
A.
Pendekatan
Referensial ………………………………………………. 1
B.
Pendekatan
Ideasional ……………………………………………….. 1
C.
Pendekatan
Behavioral ………………………………………………. 2
D.
Pendekatan
Struktural ………………………………………………. 3
BAB II Hubungan Semantik, Logika dan Tata Bahasa
A. Bahasa dan
Pikiran …………………………………………………… 5
B. Bahasa Sebagai
Struktur Formal Realitas
…………………………… 6
C. Proposisi
Kategori dalam Logika Bahasa
…………..……………… 8
BAB III Pemakaian Bahasa Untuk Menemukan Jenis,
Relasi, dan Perubahan makna.
A. Jenis Makna ………………………………………………………….. 9
1.
Makna
Leksikal dan Makna Gramatikal
……………………….. 9
2.
Makna
Referensial dan Nonreferensial
………………..………… 10
3.
Makna
Denotatif dan Konotatif
………………………………… 10
4.
Makna Kata
dan Makna Istilah
………………………………… 11
5.
Makna
Konsep dan Makna Asosiatif
…………………………… 12
6.
Makna
Idiomatikal dan Peribahasa
…………………………….. 12
7.
Makna Kias ……………………………………………………… 13
B. Relasi Makna ……………………………………………….………… 13
1.
Sinonimi …………………………………………….…………… 13
2.
Antonimi
dan Oposisi …………………………………………... 16
3.
Homonimi,
Homofoni, dan Homografi …………………………. 17
4.
Hiponimi
dan Hipernimi ……………………………………….. 18
5.
Polisemi …………………………………………………………. 19
6.
Ambiguitas ……………………………………………………… 20
7.
Redundasi ………………………………………………………. 20
ii
C. Perubahan
Makna ……………………………………………………. 20
1.
Sebab-sebab
Perubahan …………………………………………. 21
a)
Perkembangan
dalam Ilmu dan Teknologi …………………. 21
b)
Perkembangan
Sosial dan Budaya
…………………………. 21
c)
Perbedaan
Bidang Pemakaian
……………..……………….. 21
d)
Adanya
Asosiasi ……………………………………………. 22
e)
Pertukaran
Tanggapan Indera
……………………………… 22
f)
Perbedaan
Tanggapan ………………………………………. 23
g)
Penyingkatan …………………………………………….…. 23
h)
Proses
Gramatikal ………………………………………….. 24
i)
Pengembangan
Istilah ……………………………………… 24
2.
Jenis
Perubahan …………………………………………………. 25
a)
Meluas ……………………………………………………… 25
b)
Menyempit …………………………………………………. 25
c)
Perubahan
Total ……………………………………………. 26
d)
Penghalusan ………………………………………………… 26
e)
Penegasan
…………...………………………………………. 27
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………… 28
iii
BAB I
Konsep Makna Berdasarkan Beberapa
Pendekatan dan Teori Linguistik
A. Pendekatan Referensial
Menurut KBBI, referensial adalah berhubungan dengan referensi, yang mana
referensi tersebut adalah sumber acuan atau petunjuk yang dapat digunakan
sebagai bahan kepada seseorang untuk dapat di baca. Maka dapat dikatakan bahwa
pendekatan referensial adalah suatu paham atau ujaran yang selalu bertolak dari
kenyataan atau juga aliran kesenian yang berusaha melukiskan (menceritakan)
sesuatu sebagaimana mestinya.
Pendekatan referensial mempunyai makna yakni makna yang langsung
berhubungan dengan acuan yang diamankan oleh leksem, acuan atau referen menurut
Anthony (1975:5) bahwa referen adalah kenyataan yang disegmentasikan dan
merupakan focus lambing. Jadi, makna dari pendekatan referensial merupakan
makna yang mengisyaratkan kepada kita tentang makna yang langsung mengacu
sesuatu, apakah benda, gejala, peristiwa, proses, ciri, sifat.
Pendekatan referensial memiliki beberapa paham diantaranya yaitu:
1. Bahasa berfungsi sebagai wakil
realitas
2. Wakil realitas menyertai
proses berpikir manusia secara individual
3. Berpusat pada pengolahan makna
suatu realitas secara benar
4. Adanya sedaran pengamatan
terhadap fakta dan penarikan kesimpulan secara subjektif
5. Makan merupakan julukan atau lebel yang berada dalam kesadaran
manusia untuk menunjukkan dunia luar
6. Membedakan makna dasar
(denotatif) dari makna tambahan (konotatif)
B. Pendekatan Ideasional
Pendekatan
ideasional adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa pengertian umum tidak
mencerminkan aspek umum dan aspek yang mempunyai kesamaan tentang eksitensi suatu
benda.
Menurut
pendekatan ini, ada beberapa paham yaitu:
1. Bahasa berfungsi sebagai media dalam
mengelola pesan dan menerima informasi
2. Makna muncul dalam kegiatan komunikasi
1
3. Makna
merupakan gambaran gagasan dari suatu bentuk bahasa yang arbitrer, tetapi
konvensional sehingga dapat dimengerti.
4. Kegiatan berpikir manusia adalah kegiatan
berkomunikasi lewat bahasa
5. Bahasa merupakan pengembangan makna untuk
mengkomunikasikan gagasan
6. Bahasa memiliki status yang sentral, karena
itu apabila:
a. Salah berbahasa dalam berpikir maka pesan
tidak tepat
b. Bahasa dalam berpikir benar, kode salah,
informasi akan menyimpang
Dari pengertian tentang
pendekatan ideasional maka dari hal tersebut pendekatan ideasional mengandung
makna yang mengandung makna yang muncul sebagai sebab akibat penggunaan laksem
yang mempunyai konsep. Konsep tersebut mempersoalkan pada laksem partisipasi.
Salah satu ide yang terkandung di dalam laksem partisipasi ialah aktivitas
maksimal seseorang untuk dalam suatu kegiatan dengan mengetahui ide yang
terkandung di dalam laksem tersebut, dapat memikirkan bagaimana memotivasi
seseorang untuk berpatisipasi. Hal tersebut mengacu pada penalaran kita
terhadap makna ideasional yang terkandung di dalam suatu laksem.
C. Pendekatan Behavioral
Behavioral merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku
individu. Behavioral ini memandang individu hanya dari sisi jasmaniah,
mengabaikan aspek-aspek mental dengan kata lain, tidak mengakui adanya kecerdasan,
bakat, minat, perasaan individu dalam belajar.
Behavioral merupakan sebutan bagi aliran yang anut Watson. Turut berperan
dalam pengembangan bentuk psikologi selama pertengahan abad dan cabang
perkembangannya yaitu psikologi stimulus respon yang masih tetap berpengaruh.
Hal ini terutama karena hasil jerih payah seseorang ahli psikologi Ari Harvat
yaitu B.F.Skinner. psikologi stimulus respon mempelajari ganjaran dan hubungan
yang mempertahankan adanya respon itu, dan mempelajari perilaku yang ditimbulkan
karena adanya perubahan pola pengajaran dan hukum.
Ada tiga prinsip dalam aliran behavioral ini, yakni:
1. Menekankan respon kondisi sebagai elemen
atau pembangunan pelaku.
2. Perilaku
adalah dipelajari sebagai konsekuensi dari pengaruh lingkungan makasesungguhnya
berilaku terbentuk karena dipelajari.
2
3. Memusatkan pada perilaku hewan, manusia, jadi mempelajari
perilaku hewan dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku manusia.
Tahap aliran behavioral ini, kritik umumnya diarahkan pada
pengingkaranterhadap potensi alami yang dimiliki manusia. Bahkan menurut
pandangan ini, manusia tidak memiliki jiwa, tidak memiliki kemauan, dan
kebebasan untuk menunjukkan tingkah laku sendiri.
Menurut
pendekatan ini, ada beberapa paham yaitu:
1. Bahasa berfungsi sebagai fakta sosial yang mampu menciptakan
berbagai bentuk komunikasi
2. Makna merupakan anggapan atas berbagai konteks situasi ujaran
3. Kemunculan makna bergantung pada konteks situasi dan
sosiokultural
4. Konteks sosiokultural dan konteks situasional merupakan suatu
sistem yang berada di luar bahasa, tetapi mewarnai seluruh sistem bahasa
D. Pendekatan Struktural
Pendekatan ini dipelopori oleh kaum formalis Rusia dan Strukturalisme
yang mendapatkan pengaruh langsung dari Saussure yang mengubah Studi Linguistik
dari pendekatan diakronik ke sinkronik. Studi linguistik tidak lagi ditekankan
pada sejarah perkembangannya, melainkan pada hubungan antarunsurnya. Masalah
unsur dan hubungan antarunsur merupakan hal yang peting dalam pendekatan ini.
Nurgianyantoro (2003:36) mengatakan aliran ini dengan teori
strukturalisme yang dikemukakan oleh antropolog Prancis, Cladio Levi Trauss.
Teori ini dikembangkan dalam linguistik oleh Ferdinand Sussure dengan bukunya Cours de Linguisque Generale
(Djojosuroto 2006:33).
Pendeketan struturalisme ini dinamakan juga pendekatan objektif. Semi
(1993:67) menyebutkan bahwa pendekatan structural dinamakan juga pendekatan
objektif, pendekatan formal, atau pendekatan analitik. Strukturalisme
berpandangan bahwa untuk menanggapi karya sastra objektif haruslah berdasarkan
pemahaman terhadap teks karya sastra itu sendiri. Proses penganalisian
diarahkan pada pemahaman terhadap bagian-bagian karya sastra dalam meyangga
keseluruhan dan sebaliknya bahwa keseluruhan itu sendiri dari bagian-bagiannya
(Sayuti 2001:63). Oleh karena itu, untuk
maknanya karya sastra harus dianalisis berdasarkan strukturnya
sendiri, lepas dari latar belakang sejarah, lepas dari diri dan niat
penulisnya, dan lepas pula dari efeknya.
3
Jeans Peaget dalam Suwondo (2001:55) menjelaskan bahwa di dalam
pengertian struktur terkandung tiga gagasan, yakni :
1. Gagasa Keseluruhan (Whoneles)
2. Gagasan Transformasi (Transfomation)
3. Gagasan Mandiri (Self
Regulation)
Sejalan dengan konsep dasar di atas Suwondo (2001:55) berpendapat bahwa
dalam memahami sastra strukturalisme berarti memahami karya sastra dengan
menolak campur tangan dari luar. Jadi, memahami karya berarti memahami
unsur-unsur yang membangun struktur. Dengan demikian analisis struktur
bermaksud memaparkan dengan cermat kaitan unsur-unsur dalam sastra sehingga
menghasilkan makna secara menyeluruh. Rene Wellek (1958:24) menyatakan bahwa
analisis sastra harus mementingkan segi interistik. Senada dengan pendapat
tersebut, Culler memandang bahwa karya sastra bersifat otonom yang maknanya
tidak ditentukan oleh luar karya karya sastra.
4
BAB II
Hubungan Semantik, Logika, dan Tata
Bahasa
A. Bahasa dan Pikiran
Informasi lewat bahasa, selain hanya
menunjuk, pada struktur kebahasaan itu sendiri, juga mampu menunjuk pada
sesuatu yang lain, yang mungkin saja kompleks. Pernyataan seperti Bogor, siang
dan malam diguyur hujan, mengandung pengertian “Bogor siang dan malam
diguyur hujan”. Akan tetapi, pernyataan seperti (1) Nilai kehidupan
manusia ditentukan dirinya sendiri, (2) Kehidupan ini hanya permainan dan
cobaan, maupun (3) Kehidupan abadi itu ada setelah kehidupan itu sendiri,
ternyata tidak mampu menunjuk satu realitas objektif secara pasti. Pernyataan
itu menunjukkan pada sesuatu yang lain yang dibentuk juga oleh bahasa itu
sendiri. Dalam hal demikian, bahasa tidak lagi berkaitan dengan konsep
objektif tetapi berkaitan dengan konsep mental.
Bagaimana hubungan antara
bahasa dengan pikiran, sehingga menghadirkan konsep mental yang akhirnya
membentuk mikrokosmos seseorang maupun pandangan hidup suatu masyarakat, telah
menjadi bahan kajian sejak masa Aristoteles. Pemikir Yunani itu, dalam hal ini
mengungkapkan teori yang lazim disebut the copy theory (Paivio & Begg, 1981
: 253). Secara garis besar, dalam teorinya tersebut Aristoteles mengungkapkan
bahwa kata-kata sebagai alat ujaran dapat digunakan sebagai penanda sikap
maupun kejiwaan. Meskipun tuturan setiap orang itu tidak sama, bentuk hubungan
mental setiap orang dengan dunia luar lewat bahasa pada dasarnya sama.
Pandangan di atas berbeda
dengan pendapat yang terkandung di dalam teori relativitas bahasa. Teori yang
memiliki asumsi dasar bahwa … language
have special effects on thr mental activities of their users (Caroll,
1976:7) berpendapat bahwa meskipun realitas luar itu sepenuhnya bersifat
objektif, tanggapan terhadapnya lewat bahasa senantiasa bersifat subjektif.
Subjektivitas penanggapan itu ditentukan oleh pandangan, pengalaman, dorongan,
keinginan, maupun suasana emosi penanggap. Sebab itu, meskipun dalam komunikasi
setiap anggota masyarakat bahasa menggunakan bentuk kebahasaan secara objektif,
bahasa yang digunakan untuk menanggapi, mengenal, dan memahami realitas lewat
kesadaran atin tersebut senantiasa bersifat subjektif.
5
Hasil signifikansi menjadi
berbeda-beda karena meskipun kata ibu kota, misalnya, oleh masyarakat tutur
bahasa Indonesia secara umum dapat diacukan pada “kota Jakarta”, tanggapan
masing-masing individu secara relative ditentukan oleh pengalaman mauun cirri
kejiwaan lain setiap individu. Seseorang yang merasa asing di tengah keluasan
dan keriuhan ibu kota mungkin memaknai ibu kota sebagai “kota belantara”,
sementara para perantau akan memaknainya sebagai kota “kota harapan dan
impian”.
Sehubungan dengan kegiatan
signifikansi secara individual tersebut, hubungan antara bahasa dengan pikiran
akhirnya memang tidak pernah berada dalam situasi “vakum”. Disebut demikian
karena kegiatan signifikasi atau “penunjukan dan penghubungan”, selain menunjuk
pada kekinian, juga menunjuk pada masa lalu dan yang akan datang. Dalam situasi
demikian itulah akhirnya realitas luar yang terekam secara arbitrer lewat
bahasa, tertanggapi dan terpilah lewat kesan dan kondisi kejiwaan penanggapnya.
Karena hubungan antara realitas dengan bahasa memang semata-mata bersifat
arbitrer, maka realitas dalam kesadaran yang terekam lewat bahasa memiliki
potensi untuk senantiasa diolah, dimengerti secara terus-menerus, tanpa henti.
Situasi demikian, seperti diungkapkan Ullman, menjadi salah satu penyebab
kehadiran simbolisme dalam sastra, sebagai aliran yang kaya akan diafora dalam
menampilkan gagasannya sehingga pesan yang disampaikan menjadi demikian padat
dan mampu menampilkan berbagai nuansa makna ( Ullman, 1977 : 117 ).
Dari sejumlah uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
bahasa dengan pikiran memiliki hubungan sangat erat. Manusia sebagai animal
symbolicum memiliki bahasa bukan hanya untuk media berpikir, melainkan masuk
lebih dalam sehingga menjadi elemen yang melangsungkan kegiatan berpikir itu
sendiri. Dalam situasi demikian itulah dikenal adanya sebutan “tirani kata”
karena kegiatan abstraksi, pengambilan keputusan, maupun dalam kegiatan yang
dilakukan, manusia senantiasa dilingkupi kata-kata.
B. Bahasa Sebagai Struktur Formal Realitas
Seperti kita lakukan dalam
kehidupan sehari-hari, dalam mengenang, melamun, membandingkan, maupun dalam
usaha memahami sesuatu, kita selalu berhubungan dengan realitas tertentu.
Realitas itu mungkin bagian dari masa lalu atau objek tertentu secara langsung
diamati dalam kekinian.
Sesuai dengan keberadaan
struktur formal bahasa sebagai wakil realitas secara arbitrer, maka akhirnya
perolehan makna, selain dibedakan antara makna intensional, juga
6
dibedakan antara makna ekstensional; selain terdapat
makna konseptual juga terdapat makna referensial. Dari adanya keterbatasan
bahasa dalam mewakili realitas yang mungkin juga menjadi salah satu bukti bahwa
bahasa memang khas kreasi manusiawi, maka lInguistik akhirnya memang lebih
banyak berfokus pada masalah, “apakah kata maupun struktur kebahasaan itu bermakna”,
dan bukan pada masalah “apakah makna dari makna kata atau struktur
kebahasaan”?.
Terdapatnya kenyataan bahwa
hubungan antara bahasa dan realitas semata-mata bersifat arbitrer, kenyataan
bahwa bahasa selain memiliki sifat vagueness (kesamaran/ketidajelasan),
inexplicitness (keidaktegasan), juga memiliki ketaksaan (kegandaan makna),
dapat diaklumi bila struktur formal bahasa memiliki keterbatasan dalam mewakili
realitas. Pernyataan seperti, aduh, indahnya tak dapat dilukiskan dengan
kata-kata.
Sesuai dengan keberadaan
struktur formal bahasa sebagai wakil realitas secara arbitrer, maka akhirnya
perolehan makna, selain dibedakan antara makna intensional, juga
dibedakan antara makna ekstentional; selain terdapat makna konseptual
juga terdapat makna referensial. Untuk memahami makna
ekstensional dan referensial secara tuntas, tentunya bukan mengurai struktur
kebahasaan, melainkan langsung mengamati objek atau referen yang diacu. Dari
adanya keterbatasan bahasa dalam mewakili realitas yang mungkin juga menjadi
salah satu bukti bahwa bahasa memang khas kreasi manusiawi, maka linguistik
akhirnya memang lebih banyak berfokus pada masalah, “apakah kata maupun
struktur kebahasaan itu bermakna”, dan bukan pada masalah “apakah makna dari
makna kata atau struktur kebahasaan”.
Memaknai struktur formal
bahasa sehubungan dengan realitas acuan harus berada dalam suatu daur. Daur
tersebut, seperti telah dibahas dalam kajian tentang bahasa sebagai sistem semiotik, selain melibatkan sistem kebahasaan dengan berbagai strata bentuknya,
realitas sosial budaya, penutur,
juga melibatkan
keberadaan tanda itu sendiri sesuai dengan konteks pemakainya. Meskipun demikian, sesuai dengan
keberadaan bahasa sebagai unsur primer dalam menghadirkan makna, suatu
informasi bisa saja menjadi kabur atau bahkan menyimpang apabila penutur tidak
mampu memilih dan menata strukturnya secara logis. Sebab itu, dalam kajian
berikut ini akan dibahas masalah logika dengan bahasa berfokus pada tiga
masalah utama, yakni (1) proposisi kategorial, (2) logika proposssional, (3)
logika predikatif
7
C. Proposisi Kategori dalam Logika Bahasa
Sebagai istilah logika mengandung
pengertian teknik bernalar secara benar. Kegiatan benalar tidak mungkin
terlaksana apabila otak penalar berada dalam kondisi kosong. Untuk melakukan
penalaran, seseorang harus memiliki pikiran, ide, konsep, pengertian, dan
proposisi. Pengertian sebagai butir hasil pengolahan pikiran, ide, dan konsep
dapat bertolak dari hasil pengamatan maupun abstraksi. Pengertian itu pula yang
menjadi dasar pengkandung proposisi sebagai pernyataan dasar yang masih
berada dalam abstraksi.
Pengertian sebagai
dasar mengdahir proposisi tidak bersipat tunggal karena keberadaannya selalu
memiliki hubungan dengan sesuatu yang lain. Proposisi tentang”mahasiswa
perempuan itu rajin mencatat dan rapi”, misalnya selain menunjuk kepada
mahasiswa, perempuan, mahasiswa perempuan, juga menunjuk pada sejumlah
pengertian yang terkandung dalam kata rajin, mencatat, dan rapi. Kata
yang mengandung pengertian tertentu tersebut, dalam logika lazim diistilahkan
term.. Disebut demikian karena bentuk perangkai term yang lazim
disebut konektor atau kopula, misalnya bentuk itu, yang, adalah,
daripada, dan, bukan, masing-masing
memiliki cara semantik
sendiri-sendiri. Sebab itu, kesalahan pemakaian juga menyebabkan penyimpangan
penerimaan pesan.
Pemilihan konektor yang
tidak tepat sehingga menyebabkan timbulnya ambiguitas makna dan penyimpangan
penerimaan pesan, dapat dikaji kembali pada contoh kalimat, malang adalah indah. Dihubungkan dengan
adanya proposisi kategori standar, kerancuan terjadi selain karena
ketidaktepatan pemakaian konektor adalah juga disebabkan oleh tidak adanya kata
kota sebagai term yang ditunjuk indah. Sebab itu, agar kalimat tersebut
memiliki proposisi kategori standar, term yang ditunjuk oleh indah harus
dimasukkan sehingga kalimat itu berbunyi, Malang adalah kota indah.
8
BAB III
Pemakaian Bahasa Untuk Menemukan Jenis,
Relasi, dan Perubahan makna.
A. JENIS
MAKNA
1. Makna
Leksikal dan Makna Gramatikal
Leksikal adalah bentuk ajektif
yang diturunkan dari bentuk nimona leksikon
(vokabuler, kosa kata, perbendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang
bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosa kata atau perbendaharaan
kata, maka leksem dapat kita persamakan
dengan kata. Dengan demikian, makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang
bersifat leksem, atau bersifat kata. Lalu, karena itu dapat pula dikatakan
makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai
dengan hasil observasi alat indera atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam
kehidupan kita. Contohnya, kata tikus
makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan
timbulnya penyakit tifus. Makna ini tampak jelas dalam kalimat Tikus
itu mati diterkam kucing, atau dalam kalimat Panen kali ini gagal akibat serangan hama tikus. Kata tikus pada kalimat itu jelas merujuk
kepada binatang tikus, bukan kepada yang lain. Tetapi dalam kalimat Yang menjadi tikus di gudang kami ternyata
berkepala hitam bukanlah dalam makna leksikal karena tidak merujuk kepada
binatang tikus melainkan kepada seorang manusia yang perbuatannya memang mirip
dengan perbuatan tikus.
Makna leksikal biasanya
dipertentangkan atau dioposisikan dengan makna gramatikal. Kalau makna leksikal
itu berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referannya, maka
makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses
gramatikal seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi.
Proses afiksasi awalan ter- pada kata
angkat dalam kalimat Batu seberat itu terangkat juga oleh adik
melahirkan makna ‘dapat’, dan dalam kalimat Ketika
balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas melahirkan makna gramatikal
‘tidak sengaja’.
Oleh karena makna sebuah kata,
baik kata dasar maupun kata jadian, sering sangat tergantung pada konteks
kalimat atau konteks situasi, maka makna gramatikal ini sering juga disebut makna kontekstual atau makna situasional. Selain itu juga
disebut makna struktural karena
proses dan satuan-satuan gramatikal itu
selalu berkenaan dengan struktur kebahasaan.
9
2. Makna
Refensial dan Nonrefensial
Perbedaan makna referensial dan makna Nonreferensial berdasarkan ada
tidaknya referen dari kata-kata itu. Bila kata itu mempunyai referen, yaitu
sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut
kata bermakna referensial. Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen, maka
kata itu disebut kata bermakna nonreferensial. Kata meja dan kursi termasuk
kata yang bermakna referensial karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis
perabot rumah tangga yang disebut “meja” dan “kursi”. Sebaliknya kata karena dan tetapi tidak mempunyai referen. Jadi, karena karena dan kata tetapi
termasuk kata yang bermakan nonreferensial.
Kata-kata yang termasuk kategori kata penuh, seperti sudah
disebutkan adalah termasuk kata-kata
yang bermakna referensial; dan yang termasuk kelas kata tugas seperti preposisi
dan konjungsi, adalah kata-kata yang termasuk kata bermakna nonreferensial.
3. Makna
Denotatif dan Konotatif
Perbedaan makna Denotatif dan
konotatif didasarkan pada atau tidak adanya “nilai rasa” (istilah dari
Slametmulyana, 1964) pada sebuah kata. Setiap kata, terutama yang disebut kata
penuh, mempunyai makna denotatif, tetapi tidak setiap kata itu mempunyai makna
konotatif.
Sebuah kata disebut mempunyai
makna konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun
negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi.
Tetapi dapat juga disebut berkonotasi netral.
Makna denotatif (sering juga
disebut makna denotasional, makna konseptual, atau makna kognitif karena
dilihat dari sudut yang lain) pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab
makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan
hasil observasi neburut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau
pengalaman lainnya. Jadi, kata denotatif ini menyangkut informasi-informasi
factual objektif. Lalu karena itu, makna denotasi sering disebut sebagai “makna
sebenarnya” umpamanya kata perempuan
dan wanita kedua makna ini mempunyai
makna denotasi yang sama, yaitu ‘manusia dewasa bukan laki-laki’.
Makna denotasi sering juga
disebut makna dasar, makna asli, atau makna pusat; dan makna konotasi disebut
sebagai makna tambahan. Penggunaan makna dasar, makna
10
asli, atau makna pusat untuk menyebut makna denotasi rasanya tidak
menjadi persoalan; tetapi penggunaan makna tambahan untuk menyebut makna
konotasi kiranya perlu dikoreksi; yakni hanya tambahan yang bersifat memberi
nilai rasa, baik positif maupun negatif. Atau jika tidak bernilai rasa dapat
juga disebut berkonotasi netral.
Makna konotasi sebuah kta dapat
berbeda dari satu kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang
lain, sesuai dengan pandangan hidup dan norma-norma penilaian kelompok
masyarakat tersebut. Contohnya kata laki
dan bini dalam masyarakat Melayu
Jakarta tidak berkonotasi negatif; tetapi dalam masyarakat intelek Indonesia
dianggap berkonotasi negatif.
4. Makna
Kata dan Makna Istilah
Pembedaaan adanya makna
kata dan makna istilah berdasarkan ketepatan makna kata itu dalam penggunaannya
secara umum dari secara khusus. Dalam penggunaan bahasa secara umum acapkali
kata-kata itu digunakan secara tidak cermat sehingga maknanya bersifat
umum. Tetapi dalam penggunaan secara
khusus, dalam bidang kegiatan tertentu, kata-kata itu digunakan secara cermat
sehingga maknanya pun menjadi tepat.
Makna sebuah kata, walupun
secara sinkronis tidak berubah, tetapi karena berbagai faktor dalam kehidupan,
dapat menjadi bersifat umum. Makna kata itu baru menjadi jelas kalau sudah
digunakan di dalam suatu kalimat. Kalau lepas dari konteks kalimat, makna kata
menjadi umum dan kabur. Misalnya kata tahanan.
Apa makna kata tahanan ? mungkin saja
yang dimaksud dengan tahanan adalah
‘orang yang ditahan’, tetapi bisa juga ‘hasil perbuatan menahan’, atau mungkin
makna yang lainnya lagi.
Berbeda dengan kata yang
maknanya masih bersifat umum, maka istilah memiliki makna yang tetap dan pasti.
Ketetapan dan kepastian makna istilah
itu karena istilah itu hanya digunakan dalam bidang kegiatan atau keahlian
tertentu. Jadi, tanpa konteks kalimatnya pun makna istilahnya itu sudah pasti.
Misalnya, kata tahanan masih bersifat
umum, tetapi sebagai istilah misalnya istilah dalam bidang hukum makna kata tahanan itu sudah pasti, yaitu orang
yang ditahan sehubungan dengan suatu perkara. Sebagai istilah dalam bidang
kelistrikan kata tahanan bermakna
daya yang menahan arus listrik.
Makna kata sebagai istilah memang
dibuat setepat mungkin untuk menghindari kesalahpahaman dala mbidang atau
kegiatan tertentu. Dalam bidang kedokteran, .
11
misalnya tangan
dan lengan digunakan sebagai istilah
untuk pengertian yang berbeda. Tangan
adalah dari pergelangan sampai ke jari-jari; sedangkan lengan dari pergelangan sampai ke pangkal bahu. Sebaliknya dalam
bahasa umum lengan dan tangan dianggap bersinonim, sama
maknanya.
5. Makna Konsep dan Makna Asosiatif
Perbedaan makna konseptual
dan makna asosiatif didasarkan pada ada atau tidak adanya hubungan (asosiasi,
refleksi) makna sebuah kata dengan makna kata lain. Secara garis besar Leech
(1976) membedakan makna atas makna konseptual dan makna asosiatif, dalam makna
asosiatif termasuk makna konotatif, stilistik, afektif, refleksi, dan
kolokatif.
Makna konseptual adalah
makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan
makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apapun. Jadi, sebenarnya makna
konseptual ini sama dengan makna referensial, makna leksikal dan makna
denotatif. Sedangkan maknan asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata
berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa.
Misalnya, kata ‘melati’ berasosiasi dengan makna ‘suci’, kata ‘merah’
berasosiasi dengan ‘berani’ atau juga dengan golongan ‘komunis’, dan kata
‘cendrawasih’ berasosiasi dengan makna ‘indah’.
6. Makna
Idiomatik dan Peribahasa
Makna Idiomatik dan pribahasa adalah makna yang dapat
dibedakan berdasarkan bisa atau tidaknya diramalkan atau ditelusuri, sebelum
kita menjelaskan idiomatikal kita perlu mengetahui dulu apa yang dimaksud
dengan idiom. Idiom adalah satuan-satuan bahasa (bisa berupa kata, frase,
maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya,
baik secara leksikal maupun gramatikal.
Idiom dibedakan menjadi dua yaitu idiom penuh dan idiom
sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang unsur-unsurnya secara keseluruhan sudah
merupakan satu kesatuan dengan satu makna. Contohnya: banting tulang artinya ’bekerja keras’, meja hijau artinya ’pengadilan’. Sedangkan idiom sebagian adalah
idiom yang salah satu unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri.
Contoh: daftar hitam artinya ’daftar yang berisi nama-nama orang yang dicurigai
atau dianggap bersalah’.
12
Makna peribahasa adalah makna yang masih dapat ditelusuri
atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya asosiasi antara makna asli
dengan makna sebagai peribahasa. Contohnya besar pasak dari pada tiang artinya
‘besar pengeluaran dari pada pendapatan’. Makna pribahasa ini bersifat
memperbandingkan atau mengumpamakan, maka bisanya juga disebut dengan nama
perumpamaan. Kata yang sering digunakan dalam pribahasa yaitu kata seperti,
bagai, bak, laksana, umpama, tetapi ada juga peribahasa yang tidak menggunakan
kata-kata tersebut namun kesan peribahasanya tetap tampak.
7. Makna Kias
Makna Kias adalah makna
Kata atau leksem yang tidak memiliki arti sebenarnya, yaitu oposisi dari makna
sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa yang tidak merujuk pada arti
sebenarnya (arti leksikal, konseptual, denotatip) disebut arti kiasan
Contohnya: putri malam artinya bulan, raja siang artinya matahari.
B. RELASI MAKNA
Relasi makna adalah hubungan semantik yang
terdapat antara satuan bahasa dengan satuan bahasa lainnya. Satuan bahasa ini
dapat berupa kata, frase, kalimat, dan relasi semantik itu dapat menyatakan
kesamaan makna, pertentangan, ketercakupan, kegandaan atau kelebihan makna.
Dalam setiap bahasa,
termasuk bahasa Indonesia, seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau
relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau
satuan bahasa lainnya lagi.Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin
menyangkut hal kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonym), kegandaan
makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponim), kelebihan makna
(redundansi), dan sebagainya. Berikut ini akan dibicarakan masalah tersebut
satu per satu.
Jenis Relasi Makna
1. Sinonim
Secara etimologi kata sinonimi
berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu anoma yang berarti ‘nama’,
dan syn yang berarti ‘dengan’. Maka secara harfiah kata sinonimi berarti
‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’.Secara semantik Verhaar (1978)
13
mendefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase,
atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain.
Umpamanya kata buruk dan jelek adalah dua buah kata yang
bersinonim ;bunga, kembang, dan puspa adalah tiga buah kata yang
bersinonom; mati, wafat, meninggal, dan mampus adalah empat buah
kata yang bersinonim.
Menurut teori Verhaar yang
sama tentu adalah informasinya ; padahal informasi ini bukan makna karena
informasi bersifat ekstralingual sedangkan makna bersifat intralingual. Atau
kalau kita mengikuti teori analisis komponen yang sama adalah bagian atau unsur
tertentu saja dari makna itu yang sama. Misalnya kata mati dan meninggal.
Kata mati nemiliki komponen makna : tidak bernyawa, dapat dikenakan
terhadap apa saja (manusia, binatang, pohon). Sedangkan meninggal
memiliki komponen makna : tidak bernyawa, hanya dikenakan pada manusia. Maka
dengan demikian kata mati dan meninggal hanya bersinonim pada
komponen makna tidak bernyawa. Kerena itu, jelas bagi kita kalau Ali, kucing,
dan pohon bisa mati; tetapi yang bisa meninggal hanya Ali.
Sedangkan kucing dan pohon tidak bisa.
Ketidakmungkinan kita untuk
menukar sebuah kata dengan kata lain yang bersinonim adalah banyak sebabnya,
Antara lain,karena ;
Ø
Faktor
waktu. Misalnya kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan. Namun,
keduanya tidak mudah dipertukarkan karena kata hulubalang hanya cocok untuk
situasi kuno, klasik, atau arkais. Sedangkan kata komandan hanya cocok
untuk situasi masa kini (modern)
Ø
Faktor
tempat atau daerah. Misalnya kata saya dan beta adalah
bersinonim. Tetapi kata beta hanya cocok untuk digunakan dalan konteks
pemakaian bahasa Indonesia timur (Maluku) ; sedangkan kata saya dapat
digunakan secara umum di mana saja.
Ø
Faktor
Sosial. Misalnya kata aku dan saya adalah dua buah kata yang
bersinonim; tetapi kata aku hanya dapat digunakan untuk teman sebaya
yang tidak dapat digunakan kepada orang yang lebih tua atau yang status
sosialnya lebih tinggi.
Ø
Faktor
bidang kegiatan. Misalnya kata tasawuf, kebatinan, dan mistik
adalah tiga buah kata yang bersinonim. Namun kata tasawuf hanya lazim
dalam agama Islam; kata kebatinan untuk yang bukan islam; dan kata mistik
untuk semua agama.
Ø
Faktor
nuansa makna. Misalnya kata-kata melihat, melirik, melotot, meninjau,
dan mengintip adalah kata-kata yang bersinonim. Kata melihat memang
bisa digunakan secara umum; tetapi kata melirik hanya digunakan untuk menyatakan
melihat
14
dengan sudut mata; kata melotot hanya digunakan
untuk melihat dengan mata terbuka lebar: kata meninjau hanya digunakan
untuk melihat dari tempat jauh atau tempat tinggi; dan kata mengintip
hanya cocok digunakan untuk melihat dari celah yang sempit.
Dalam beberapa buku pelajaran bahasa sering dikatakan bahwa
sinonim adalah persamaan kata atau kata-kata yang sama maknanya. Pernyataan ini
jelas kurang tepat sebab selain yang sama bukan maknanya, yang bersinonim pun
bukan hanya kata, tetapi juga banyak terjadiantara satuan-satuan bahasa
lainnya. Perhatikan contoh berikut!
a)
Sinonim
antar morfem (bebas) dengan morfem terikat, seperti antara dia dengan nya,
antara saya dengan ku dalam kalimat
i.
Minta
bantuan dia
ii.
Minta
bantuannya
iii.
Bukan
teman saya
iv.
Bukan
temanku
b)
Sinonim
antara kata dengan kata seperti antara mati dengan meninggal; antara buruk dengan jelek,
dan sebagainya.
c)
Sinoninm
antara kata dengan frase atau sebaliknya. Misalnya antara meninggal dengan
tutup usia ; antara hamil dengan duduk perut; tidak boleh tidak dengan harus.
d)
Sinonim
antara frase dengan frase. Misalnya, antara ayah ibu dengan orang
tua; antara meninggal dunia dengan pulang ke rahmatullah.
e)
Sinonim
antara kalimat dengan kalimat, seperti Adik menendang bola dengan Bola
ditendang adik. Kedua kalimat tersebut dianggap bersinonim, yang pertama
kalimat aktif dan yang kedua lalimat pasif.
Mengenai
sinonim ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
1. Tidak semua kata dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonim.
Misalnya kata beras, salju, batu dan kuning.
2. Ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak pada
bentuk jadian. Misalnya kata benar bersinonim dengan kata betul;
tetapi kata kebenaran tidak bersinonim dengan kata kebetulan.
3. Ada kata-kata yang tidak mempunyai sinonim pada bentuk dasar
tetapi memiliki sinonim pada bentuk jadian. Misalnya kata jemur tidak
mempunyai sinonim tetapi kata menjemur ada sinonimnya, yaitu mengeringkan;
dan berjemur bersinonim dengan berpanas.
15
4. Ada kata-kata yang dalam arti “sebenarnya” tidak mempunyai
sinonim, tetapi dalam arti “kiasan” justru mempunyai sinonim. Misalnya kata hitam
dalam makna “sebenarnya” tidak ada sinonimnya, tetapi dalam arti “kiasan”
ada sinonimnya yaitu gelap, mesum, buruk, jahat dan tidak
menentu.
2. Antonimi dan
Oposisi
Kata antonimi berasal
dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya ‘nama’ dan anti yang
artinya ‘melawan’. Maka secara harfiah maka antonim berarti ‘nama lain untuk
benda lain pula’. Secara semantik, Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai:
Ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau
kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makan ungkapan lain. Misalnya
kata bagus adalah berantonim dengan kata buruk; kata besar berantonim dengan kata kecil.
Sama halnya dengan sinonim,
antonimpun terdapat pada semua tataran bahasa: tataran morfem, tataran kata,
tataran frase, dan tataran kalimat. Dalam bahasa Indonesia untuk tataran morfem
(terikat) barangkali tidak ada; dalam bahasa Inggris kita jumpai contoh thankful
dengan thankless, dimana ful dan less berantonim; antara progresif
dengan regresif, dimana fro dan re berantonim.
Berdasarkan sifatnya,
oposisi dapat dibedakan menjadi:
Ø
Oposisi
Mutlak. Di sini terdapat
pertentangan makna secara mutlak. Umpamanya antara kata hidup dan mati.
Antara hidup dan mati terdapat batas yang mutlak, sebab sesuatu
yang hidup tentu tidak (belum) mati; sedangkan sesuatu yang mati
tentu sudah tidak hidup lagi.
Ø
Oposisi
Kutub. Makna kata-kata yang
termasuk oposisi kutub ini pertentangannya tidak bersifat mutlak, melainkan
bersifat gradasi. Artinya terdapat tingkat-tingkat makna pada kata-kata
tersebut, misalnya, kata kaya dan miskin adalah dua buah kata
yang beroposisi kutub. Pertentangan antara kaya dan miskain tidak
mutlak orang yang tidak kaya belum tentu meras miskin, dan begitu
juga orang yang tidak miskin belum tentu merasa kaya.
Kata-kata yang beroposisi kutub ini umumnya adalah
kata-kata dari kelas adjektif, seperti jauh-dekat, panjang-pendek,
tinggi-rendah, terang-gelap, dan luas-sempit.
Ø
Oposisi
Hubungan. Makna kata yang
beroposisi hubungan (relasional) ini bersifat saling melengkapi. Artinya,
kehadiran kata yang satu karena ada kata yang lain
16
yang menjadi oposisinya. Tanpa kehadiran keduanya maka
oposisi ini tidak ada. Umpamanya kata menjual beroposisi dengan kata membeli.
Kata menjual dan membeli walaupun maknanya berlawanan, tetapi
proses kejadiannya berlaku serempak. Proses menjual dan proses membeli
terjadi pada waktu yang bersamaan, sehingga bisa dikatakan tak akan ada proses menjual
jika tak ada proses membeli.
Kata-kata yang beroposisi hubungan ini bisa berupa kata
kerja seperti mundur-maju, pulang-pergi, pasang-surut, memberi-menerima,
belajar- mengajar, dan sebagainaya. Selain itu, bisa pula berupa kata
benda, seperti ayah- ibu, guru-murid, atas-bawah, utara-selatan,
buruh-majikan, dan sebagainya.
Ø
Oposisi
Hierarki. Makna kata-kata yang
beroposisi hierarkial ini mengatakan suatu deret jenjeng atau tingkatan. Oleh
karena itu kata-kata yang beropossisi hierarkial ini adalah kata-kata yang
berupa nama satuan ukuran (berat, panjang, dan isi), nama satuan hitungan dan
penanggalan, nama jenjang kepangkatan, dan sebagainya. Umpamanya kata meter beroposisi
hierarkial dengan kata kilometer karena berada dalam deretan nama satuan
yang menyatakan ukuran panjang. Kata kuintal dan ton beroposisi
secara hierarkial karena keduanya berada dalam satuan ukuran yang menyatakan
berat.
Ø
Oposisi
Majemuk. Selama ini yang
dibicarakan adalah oposisi diantara dua buah kata, seperti mati-hidup,
menjual-membeli, jauh-dekat, prajurit-opsir. Namun, dalam pembedaharaan
kata Indonesia ada kata-kata yang beroposisi terhadap lebih dari sebuah kata.
Misalnya kata berdiri bisa beroposisi dengan kata duduk, dengan
kata berbaring, dengan kata berjongkok. Keadaan seperti ini lazim
disebut dengan kata istilah oposisi majemuk. Contoh lain, kata diam yang
dapat beroposisi dengan kata berbicara, bergerak, dan bekerja.
3. Homonimi,
Homofoni, Homograf
Kata homonimi berasal dari
bahasa Yunani kuno onoma yang artinya ‘nama’ dan homo yang
artinya ‘sama’. Secara harafia homonimi dapat diartikan sebagi “nama sama untuk
benda atau hal lain”. Secara semantik, Verhaar (1978) memberi definisi homonimi
sebagai ungkapan (berupa kata, frasa atau kalimat) yang bentuknya sama dengan
ungkapan lain (juga berupa kata, frasa atau kalimat) tetapi maknanya tidak
sama. Hubungan antara dua buah kata yang homonim bersifat dua arah. Hubungan
antara dua buah kata yang homonym bersifat dua arah. Artinya, kalau kata bisa yang berarti ‘racun ular’ hominim
dengan kata bisa yang berarti
‘sanggup’.
17
Hal-hal yang menyebabkan
terjadinya bentuk-bentuk homonimi, yaitu:
a)
Bentuk-bentuk
yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau diales yang berlainan. Misalnya
kata bisa yang berarti ‘racun ular’
berasal dari bahasa Melayu, sedangkan dengan kata bisa yang berarti ‘sanggup’ berasal dari bahasa Jawa.
b)
Bentuk-bentuk
yang bersinonimi itu terjadi sebagai hasil proses morfologi.
Hominimi dan sinonimi dapat
terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.
·
Homonimi
antarmorfem, tentunya terjadi antara sebuah morfem terikat dengan morfem
terikat lainnya.
·
Homonimi
antarkata, terjadi antara sebuah kata dengan kata lainnya. Misalnya antara kata
bisa yang berarti ‘racun ular’ dan kata bisa yang berarti
‘sanggup, atau dapat’.
·
Homonimi
antarfrase, misalnya antara frase cinta anak yang berarti ‘perasaan
cinta dari seorang anak kepada ibunya’ dan frase cinta anak yang berarti
‘cinta kepada anak dari seorang ibu’.
·
Homonimi
antarkalimat, misalnya antara Istri lurah yang baru itu cantik yang berarti
‘lurah yang baru diangkat itu mempunyai istri yang cantik’, atau ‘lurah itu
baru menikah lagi dengan seorang wanita yang cantik’.
Disamping homonimi ada pula
istilah homofoni dan homogfari. Homofoni dilihat dari segi
“bunyi” (homo=sama, fon=bunyi), sedangkan homografi dilihat dari segi
“tulisan, ejaan” (homo=sama, grafo=tulisan). Homofoni sebetulnya sama saja
dengan homonimi karena realisasi bentuk-bentuk bahasa adalah berupa bunyi.
Namun, dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang homofon tetapi ditulis
dengan ejan yang berbeda karena ingin memperjelas perbedaan makna.
4. Hiponimi dan Hipernimi
Kata hiponimi berasal dari
bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti ‘nama’ dan hypo berarti
“di bawah’. Jadi secara harfiah berarti ‘nama yang termasuk di bawah nama
lain’. Secara semantik, Verhaar (1978: 137) menyatakan hiponim ialah ungkapan
(biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga frase atau kalimat) yang
maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satu ungkapan lain. Kalau relasi
antara dua buah kata yang bersinonim, berantonim, dan berhomonim bersifat dua
arah, maka relasi
18
anatar dua buah kata yang berhiponim ini adalah searah.
Umpamanya, kata bemo dan kendaraan. Kata bemo berhiponimm terhadap kata kendaraan,
sebab bemo adalah salah satu jenis
kendaraan. Sebaliknya kata kendaraan
berhipernim terhadap kata bemo, sebab
kata kendaraan meliputi makna bemo disamping jenis kendaraan lain (seperti
becak, sepeda, kereta api, dan bis)
Konsep hiponimi dan
hipernimi mengandaikan adanya kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna
sebuah kata yang berada di bawah makna kata lainnya. Karena itu, ada
kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernimi terhadap sejumlah kata lain,
akan menjadi hiponim terhadap kata lain yang hierarkial berada di atasnya.
Konsep hiponimi dan hipernimi mudah diterapkan pada kata benda tapi agak sukar
pada kata kerja atau kata sifat.
5.
Polisemi
Polisemi lazim diartiakn sebagai satuan bahasa (terutama
kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Umpamanya, kata kepala dalam bahasa Indonesia
memiliki makna (1) bagian tubuh
dari leher ke atas; (2) bagian dari suatu yang terletak di
sebelah atas atau di depan dan merupakan hal yang penting atau terutama; (3) bagian suatu benda yg berbentuk
bulat; (4) pemimpin atau ketua (5) jiwa atau orang (6)
akal, budi. Namun, makna-makna yang banyak dari sebuah kata yang polisemi itu
masih ada sangkutpautnya dengan makna asal, karena dijabarkan dari komponen
makna yang ada pada makna asal kata tersebut.
Persoalan lain yang
berkenaan dengan polisemi ini adalah bagaimana kita bisa membedakannya dengan
bentuk-bentuk yang disebut homonimi. Perbedaannya yang jelas adalah bahwa
homonimi bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata aatu lebih yang
kebetulan bentuknya sama. Tentu saja karena homonimi ini bukan sebuah kata,
maka maknanya pun berbeda.
Di dalam kamus
bentuk-bentuk yang homonimi didaftarkan sebagi entri-entri yang berbeda.
Sebaliknya bentuk-bentuk polisemi adalah sebuah kata yang memiliki makna lebih
dari satu. Karena polisemi ini adalah sebuah kata maka di dalam kamus
didaftarkan sebagai sebuah entri. Satu lagi perbedaan antara homonimi dan
polisemi, yaitu makna-makan pada bentuk homonimi tidak ada kaitan atau
hubungannya sama sekali antara yang satu dengan yang lainnya.
19
6. Ambiguitas
Ambiguitas atau ketaksaan
sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Konsep ini
tidak salah, tetapi juga kurang tepat sebab tidak dapat dibedakan dengan
polisemi. Polisemi dan ambiguitas memang sama-sama bermakna ganda. Hanya kalau
kegandaan makna dalam polisemi berasal dari kata, sedangkan kegandaan makna
dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase
atau kalimat, dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang
berbeda. Dalam bahasa lisan penafsiran ganda ini mungkin tidak akan terjadi
karena struktur gramatical itu dibantu oleh unsur intonasi.
Perbedaan antara ambiguitas
dan homonimi adalah homonimi dilihat sebagai dua bentuk yang kebetulan sama dan
dengan makna yang berbeda, sedangkan ambiguitas adalah sebuah bentuk dengan
makna yang berbeda sebagai akibat dari berbedanya penafsiran struktur
gramatikal bentuk tersebut. Lagi pula ambiguitas hanya terjadi pada satuan
frase dan kalimat sedangkan homonimi dapat terjadi pada semua satuan
gramatikal.
7. Redudansi
Istilah redudansi sering
diartikan sebagai berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam statu bentuk
ujaran. Secara semantik masalah redudansi sebetulnya tidak ada, sebab salah
satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna pun akan
berbeda. Makna adalah statu fenomena dalam ujaran (utterance, internal phenomenon)
sedangkan informasi adalah sesuatu yang luar ujaran (utterance-external).
C. PERUBAHAN MAKNA
Secara sinkronis makna
sebuah kata tidak akan berubah, maka secara diakronis ada kemungkinan bisa
berubah. Jadi, sebuah kata yang pada suatu waktu dulu bermakna ‘A’ misalnya,
maka pada waktu sekarang bisa bermakna ‘ B’, dan pada suatu waktu kelak mungkin
bermakna ‘C’ atau bermakna ‘D’. Sebagai contoh kita lihat kata sastra
yang paling tidak telah tiga kali mengalami perubahan makna. Pada mulanya kata
satra ini bermakna tulisan atau huruf; lalu berubah menjadi bermakna buku;
kemudian berubah lagi menjadi bermakna buku yang baik isinya dan baik
bahasanya; dan sekarang yang disebut karya satra adalah karya yang bersifat
imaginatifkreatif.
20
Pernyataan bahwa makna
sebuah kata secara sinkronis dapat berubah menyiratkan pula pengertian bahwa
setiap kata maknanya harus atau akan berubah secara diakronis. Banyak kata yang
maknanya sejak dulu sampai sekarang tidak berubah. Malah jumlahnya mungkin lebih
banyak daripada yang berubah atau pernah berubah.
1. Sebab-sebab
Perubahan Makna
Banyak faktor yang
menyebabkan terjadinya perubahan makna sebuah kata. Di antaranya adalah :
a)
Perkembangan Dalam Ilmu dan Teknologi
Perkembangan dalam bidang
ilmu dan kemajuan dalam bidang teknologi dapat menyebabkan terjadinya perubahan
makna kata. Di sini sebuah kata yang tadinya mengandung konsep makna mengenai
sesuatu yang sederhana, tetapi digunakan walaupun konsep makna yang dikandung
telah berubah sebagai akbibat dalam perkembangan teknologi. Perubahan makna
kata sastra dari makna ‘tulisan’
sampai pada makna ‘karya imaginatif’ adalah salah satu contoh perkembangan
bidang keilmuan. Pandangan-pandangan baru atau teori baru mengenai sastra
menyebabkan makna kata sastra itu berubah. Pandangan baru atau teori barulah yang menyebabkan kata
sastra yang tadinya bermakna ‘buku yang baik isinya dan bahasanya’ menjadi
berarti ‘karya yang bersifat imaginatif kreatif.
b)
Perkembangan Sosial dan Budaya
Perkembangan dalam bidang
sosial kemasyarakatan dapat menyebabkan terjadinya perubahan makna. Bentuk
katanya tetap sama tetapi konsep makna yang dikandungnya sudah berubah..
Misalnya kata saudara, dalam bahasa
Sansekerta bermakna ‘seperut’ atau ‘satu kandungan’. Tetapi kini, kata saudara digunakan juga untuk menyebut
orang lain. Sebagai kata sapaan, yang diperkirakan sederajat, baik usia
maupun kedudukan sosial. Contoh lain, kata sarjana
menurut bahasa Jawa Kuno bermakna ‘orang pandai atau cendekiawan’ tetapi kini
kata sarjana itu hanya bermakna ‘orang yang lulus dari perguruan tinggi’.
c)
Perbedaan Bidang Pemakaian
Setiap bidang khidupan atau
kegiatan memiliki kosakata tersendiri yang hanya dikenal dan digunakan dengan makna
tertentu
dalam bidang tersebut.
21
Umpamanya, dalam bidang pertanian kita temukan kosa kata
seperti menggarap, menuai, pupuk, hama dan panen; dalam bidang agama islam ada
kosa kata seperti iman, khatib, puasa, zakat, dan subuh; dan dalam bidang
pelayaran ada kosa kata seperti berlabuh, berlayar, haluan nakhoda, dan
buritan.
Kata-kata yang menjadi kosa
kata dalam bidang-bidang tertentu itu dalam kehidupandan pemakaian sehari-hari
dapat terbantu dari bidangnya; dan digunakan dalam bidang lain atau menjadi
kosakata umum. Oleh karena itu, kata-kata tersebut menjadi memiliki makna baru
atau makna lain di samping makna aslinya (makna yang berlaku dalam bidangnya).
Misalnya, kata menggarap dari bidang
pertanian digunakan juga dalam bidang lain dengan makna ‘mengerjakan’, seperti
dalam menggarap skripsi, menggarap naskah
drama, dan menggarap rancangan undang-undang lalu lintas. Kata membajak yang berasal dari bidang
pertanian juga, sudah bisa kini digunakan dalam bidang lain, seperti dalam buku bajakan, kaset bajakan, dan, membajak pesawat terbang. Contoh lain,
kata jurusan yang berasal dari bidang
lalu lintas kini digunakan juga dalam bidang pendidikan, seperti dalam jurusan bahasa Indonesia, jurusan hukum
perdata, dan lain-lain.
d)
Adanya Asosiasi
Maksudnya adalah adanya
hubungan antara sebuah bentuk ujaran dengan sesuatu yang lain berkenaan dengan
bentuk ujaran itu, sehingga dengan demikian bila disebut ujaran itu maka yang
dimaksud adalah sesuatu yang lain yang berkenaan dengan ujaran itu.
Contoh :
“Supaya urusan cepat beres, beri saja amplop”.
Makna amplop sebenarnya adalah ‘sampul surat’. Akan
tetapi dalam kalimat di atas, amplop itu bermakna ‘uang sogok’. Berarti
kata amplop dalam kalimat itu berasosiasi dengan uang sogok.
e)
Adanya Tanggapan Indera
Alat indra kita yang lima
mempunyai fungsi masing-masing untuk menangkap gejala-gejala yang terjadi di
dunia ini. Misalnya rasa pahit, manis dan getir ditangkap dengan alat indra
perasa, yaitu lidah; gejala yang berkenaan dengan
22
bunyi ditangkap dengan alat indra pendengar telinga, dan
gejala terang dan gelap ditangkap dengan alat indra mata. Namun, dalam
perkembangan pemakaian bahasa tampak terjadi pertukaran pemakaian alat indra
untuk menangkap gejala yang terjadi di sekitar manusia itu. Misalnya, rasa
pedas yang seharusnya ditanggap oleh alat indra perasa pada lidah, bertukar
menjadi ditanggap oleh alat indera pendengar, seperti dalam ujaran kata-katanya cukup pedas. Atau kasar
yang harus ditanggap dengan alat indera perasa pada kulit, ditanggap oleh alat
indera penglihatan mata, seperti dalam kalimat Tingkah lakunya kasar.
f)
Perbedaan Tanggapan
Setiap unsur leksikal atau
kata sebenarnya secara sinkronis telah mempunyai makna leksikal yang tetap.
Namun karena pandangan hidup dan ukuran dalam norma kehidupan di dalam
masyarakat, maka banyak kata yang menjadi memiliki nilai rasa yang “rendah”,
kurang menyenangkan. Di samping itu ada juga yang menjadi memiliki nilai rasa
yang “tinggi” atau yang mengenakan. Kata-kata yang nilainya merosot menjadi
rendah lazim disebut peyoratif, sedangkan yang nilainya naik menjadi
tinggi disebut amelioratif. Contohnya, kata bini dewasa ini
dianggap peyoratif, sedangkan kata istri dianggap amelioratif. Kata laki
dianggap peyoratif berbeda dengan suami yang dianggap amelioratif. Kata bang
dianggap peyoratif sebaliknya kata bung dianggap amelioratif.
Apakah nilai rasa peyoratif
dan amelioratif sebuah kata bersifat tetap? Tentu saja tidak. Nilai rasa itu
kemungkinan besar Cuma bersifat sinkronis. Secara diakronis ada kemungkinan
bisa berubah. Sebagai contoh, kata jamban dulu dianggap bersifat
peyoratif dan orang menggantinya dengan kata kaskus atau W.C.
Tetapi dewasa ini kata jamban itu telah kehilangan sifat peyoratifnya
karena pemerintah DKI secara resmi menggunakan lagi kata itu sebagai istilah
baku seperti dalam frase jamban keluarga.
g)
Adanya Penyingkatan
Dalam Bahasa Indonesia ada
sejumlah kata atau ungkapan yang karena sering digunakan, maka kemudian tanpa
diucapkan atau dituliskan secara keseluruhan orang sudah mengerti maksudnya.
Oleh karena itu, maka kemudian orang lebih
23
banyak menggunakan singkatan saja daripada bentuk
utuhnya. Misalnya, kalau dikatakan Ayahnya meninggal tentu maksudnya
adalah meninggal dunia. Jadi, meninggal adalah bentuk singkatan
dari ungkapan meninggal dunia. Contoh lain kalau dikatakan ke
Surabaya dengan garuda tentu maksudnya adalah “naik pesawat terbang dari
perusahaan penerbangan garuda”.
Kalau disimak sebetulnya
dalam kasus peyingkatan ini bukanlah peristiwa peubahan makna yang terjadi
sebab makna atau konsep itu tetap. Yang terjadi adalah perubahan bentuk kata.
Kata yang semula berbentuk utuh disingkat menjadi bentuk tidak utuh yang
pendek. Malah gejala penyingkatan ini bisa terjadi juga pada bentuk-bentuk yang
sudah dipendekan seperti AMD adalah kependekan dari Abri Masuk Desa, dan
Abri itu sendiri adalah kependekan dari Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia.
h)
Proses Gramatikal
Proses
gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi, dan komposisi (penggabungan kata)
akan menyebabkan pula terjadinya perubahan makna. Tetapi dalam hal ini yang
terjadi sebenarnya bukan perubahan makna, sebab bentuk kata itu sudah berubah
sebagai hasil proses gramatikal. Jadi, tidaklah dapat dikatakan kalau dalam hal
ini telah terjadi perubahan makna, sebab yang terjadi adalah proses gramatikal,
dan proses gramatikal itu telah “melahirkan” makna-makna gramatikal.
i)
Pengembangan Istilah
Salah satu upaya dalam
pengembangan atau pembentukan istilah baru adalah dengan memanfaatkan kosakata
bahasa Indonesia yang ada dengan jalan memberi makna baru, entah dengan
menyempitkan makna kata tersebut, meluaskan, maupun memberi arti baru sama
sekali. Misalnya kata papan yang semula bermakna ‘lempengan kayu’
(besi,dsb)tipis , kini diangkat menjadi istilah untuk makna ‘perumahan’, kata sandang
yang semula bermakna ‘selendang’ kini diangkat menjadi istilah untuk makna
‘pakaian’, dan kata teras yang semula bermakna ‘inti kayu’ atau
‘saripati kayu’ kini diangkat menjadi unsur pembentuk istilah untuk makna
‘utama’ atau ‘pimpinan’.
Contoh lain, perubahan
makna sebagai akibat usaha dalam pembentukan istilah seperti kata-kata canggih,
gaya, tapak, paket, menayangkan dan menggalakkan.
24
2. JENIS-JENIS
PERUBAHAN MAKNA
a)
Meluas
Perubahan makna
meluas,ialah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya
hanya memiliki sebuah ‘makna’,tetapi Karena berbagai faktor menjadi memiliki
makna-makna lain. Perlu diperhatikan bahwa makna yang terjadi sebagai hasil
perluasan itu masih berada dalam lingkupan polisemi. Makna itu masih ada
hubungannya dengan makna asalnya. Sedangkan Keraf (1986 : 87) menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan perluasan arti (makna yang semula), “Ialah sesuatu proses
perubahan makna yang dialami sebuah kata yang mengandung suatu makna yang
khusus, kemudian makna tersebut meluas sehingga melingkupi sebuah kelas
makna yang lebih umum”.
Menurut Tarigan (1990 : 86)
juga menyatakan generalisasi atau perluasan ialah “Suatu proses perubahan makna
kata dari pada yang lebih khusus kepada yang lebih umum, atau dari pada yang
lebih sempit kepada yang lebih luas”
Contoh:
Kata
|
Makna dulu
|
Makna
sekarang
|
Saudara
|
Seperut atau sekandungan
|
Siapa saja yang sepertalian darah
|
Baju
|
Pakaian sebelah atas dari pinggang ke
atas sampai ke bahu
|
Satu set pakaian yang dikenakan
|
Bapak
|
Ayah biologis
|
Sapaan untuk orang yang sudah
berkeluarga, orang yang berusia dewasa, atau orang yang dihormati, meskipun
bukan ayah biologis.
|
Namun yang perlu
diperhatikan adalah bahwa makna-makna lain yang terjadi sebagai hasil perluasan
itu masih berada dalam lingkup poliseminya. Jadi, makna-maknanya itu masih ada
hubungannya dengan makna asalnya.
b)
Menyempit
Perubahan makna yang
menyempit (pengkhususan makna). Yang dimaksud dengan makna yang menyempit
(pengkhususan makna) ialah, gejala yang terjadi pada sebuah kata yang mulanya
mempunyai makna yang cukup luas, kemudian berubah menjadi makna yang terbatas
hanya pada makna tertentu saja. Menurut Keraf (1986:97) menyatakan bahwa
penyempitan arti sebuah kata ialah, “sebuah proses yang dialami sebuah kata,
yaitu makna yang lama lebih besar, cakupannya
25
dari pada makna yang baru”. Taringan menyatakan juga
bahwa, “proses pengkhususan mengacu kepada satu perubahan yang mengakibatkan
makna kata menjadi lebih khusus dalam aplikasinya”.
Contoh:
Kata
|
Makna dulu
|
Makna
sekarang
|
Ahli
|
Orang yang termasuk dalam satu
keluarga
|
Orang yang pandai dalam satu cabang ilmu
atau kepandaian.
|
Sarjana
|
Orang pandai atau cendekiawan
|
Lulusan pendidikan perguruan tinggi
strata 1
|
Pendeta
|
Orang yang berilmu
|
Guru agama Kriten
|
c)
Perubahan Total
Yang dimaksud dengan
perubahan total adalah berubahnya sama sekali makna sebuah kata dari makna
asalnya.
Contoh:
Kata
|
Makna
Dulu
|
Makna
Sekarang
|
Ceramah
|
Cerewet
|
Pidato atau uraian
|
Pena
|
Bulu
|
Alat tulis yang menggunakan tinta
|
Seni
|
Air seni atau kencing
|
Karya atau ciptaan yang bernilai
halus
|
Perluasan makna ditandai
dengan ruang lingkup makna saat ini sama sekali berbeda
dengan ruang lingkup makna saat sebelumnya.
d)
Penghalusan (Ufemia)
Penghalusan ini berhadapan
dengan gejala tampilnya kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki makna
yang lebih halus, atau lebih sopan daripada yang akan digantikan. Kecenderungan
untuk menghaluskan makna kata tampaknya merupakan gejala umum dalam masyarakat
bahasa Indonesia.
Penghalusan atau Ufemia adalah
penggantian suatu ujaran yang bernulai rasa netral atau kasar dengan ujaran
lain yang mempunyai makna sama tapi dianggap mempunyai nilai rasa lebih halus.
Makna ujarannya sama, hanya saja diungkapkan dengan kata yang bernilai rasa
lebih halus. Gejala bahasa ini umum ada dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa
Indonesia.
26
Contoh:
Kata Bernuansa Rasa
Netral
Atau Kasar
|
Kata Yang Bernilai Rasa
Lebih Halus
|
Penjara atau bui
|
Lembaga pemasyarakatan
|
Pemecatan
|
Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK)
|
Babu
|
Pembantu rumah
tangga
|
e)
Penegasan
Pengasaran atau disfemia
adalah penggantian suatu ujaran yang bernuansa makna netral atau halus dengan
ujaran lain yang mempunyai makna sama tapi dianggap mempunyai nilai rasa lebih
kasar. Makna ujarannya tetap dipertahankan sama, hanya saja diungkapkan dengan
kata yang bernilai rasa lebih halus. Gejala bahasa ini umum ada dalam
berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Contoh:
No
|
Kata
bernuansa rasa netral
atau
kasar
|
Kata
yang bernilai rasa lebih halus
|
1
|
Memasukkan
Tendangannya berhasil memasukkan bola ke gawang lawan. |
Menjebloskan
Tendangannya berhasil menjebloskan bola ke gawang lawan. |
2
|
Mati
Penjahat itu mati dikeroyok masa. |
Modar
Penjahat itu modar dikeroyok masa. |
3
|
Mengambil
Pencuri mengambil televisi Bu Mirah. |
Menggondol
Pencuri menggondol televisi Bu Mirah. |
Yang berubah dari disfemia
bukanlah makna kata atau makna ujaran, melainkan nilai rasa. Makna ujaran
dipertahankan tetap.
Disfemia digunakan untuk:
1.
menunjukkan
sikap tidak suka, tidak ramah, atau jengkel (lihat kalimat 2 dan 3 pada contoh
di atas)
2.
memberikan
penekanan yang kuat pada suatu tindakan (lihat kalimat 1)
Nilai rasa kasar terkadang tidak terasa bila digunakan untuk memberi penekanan kuat.
Nilai rasa kasar terkadang tidak terasa bila digunakan untuk memberi penekanan kuat.
27
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. Semantik
Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta, 2009.
Prof. Dr. Tarigan Guntur, Henry. Pengajaran Semantik. Bandung : Angkasa, 1985.
anaksastra.blogspot.com/2009/03/relasi-makna.html
28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar