Oleh,
Kamarudin Zai
Dosen Pengampu,
SINUFA GULÖ, S.Pd.
INSTITUT
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(IKIP) GUNUNGSITOLI
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
T A. 2010/2011
JENIS MAKNA
1.
Makna
denotatif (referensial) ialah makna yang menunjukkan langsung pada acuan atau
makna dasarnya.
Contoh:
merah : warna seperti warna darah.
ular : binatang menjalar, tidak berkaki, kulitnya bersisik.
Contoh:
merah : warna seperti warna darah.
ular : binatang menjalar, tidak berkaki, kulitnya bersisik.
2.
Makna
konotatif (evaluasi) ialah makna tambahan terhadap makna dasarnya yang berupa
nilai rasa atau gambar tertentu.
Contoh:
Makna dasar Makna tambahan
(denotasi) (konotasi)
merah : warna ………………………. berani; dilarang
ular : binatang ……………………..menakutkan/ berbahaya
Contoh:
Makna dasar Makna tambahan
(denotasi) (konotasi)
merah : warna ………………………. berani; dilarang
ular : binatang ……………………..menakutkan/ berbahaya
Makna dasar beberapa
kata misalnya: buruh, pekerjaan, pegawai, dan karyawan, memang sama, yaitu
orang yang bekerja, tetapi nilai rasanya berbeda. Kata buruh dan pekerja
bernilai rasa rendah/ kasar, sedangkan pegawai dan karyawan bernilai rasa
tinggi.
Konotasi dapat dibedakan atas dua macam, yaitu konotasi positif dan konotasi negatif.
Contoh:
Konotasi positif Konotasi negatif
suami istri laki bini
tunanetra buta
pria laki-laki
Kata-kata yang bermakna denotatif tepat digunakan dalam karya ilmiah, sedangkan kata-kata yang bermakna konotatif wajar digunakan dalam karya sastra.
Konotasi dapat dibedakan atas dua macam, yaitu konotasi positif dan konotasi negatif.
Contoh:
Konotasi positif Konotasi negatif
suami istri laki bini
tunanetra buta
pria laki-laki
Kata-kata yang bermakna denotatif tepat digunakan dalam karya ilmiah, sedangkan kata-kata yang bermakna konotatif wajar digunakan dalam karya sastra.
B. Kata dan Istilah
Kata dalam bahasa Indonesia memang bisa dipahami sebagai
sesuatu yang menjadi unsur pembentuk bahasa. Misalnya, ada kata:
"miskin". Kata ini akan berarti, hanya jika kata ini digabungkan
dengan kata lain atau dengan tanda bahasa yang mendukung.
Misalnya, "Oohh ... , miskin ya?" atau,
"Miskin ...?"
Pada kalimat pertama, kata miskin bisa berarti dua hal.
Hal ini menunjukkan ungkapan ketidaktahuan seseorang tentang keadaan sebelumnya
yang bersangkutan dengan pengertian "miskin" itu sendiri. Kedua,
ungkapan yang bernada merendahkan dapat menjadi ungkapan seseorang yang
berhadapan dengan keadaan seseorang yang memang "miskin".
Untuk kalimat kedua, kita akan mengerti kalau kata
"miskin" di situ akan berarti pertanyaan. Juga bisa berarti ungkapan
ketidakpercayaan.
Demikianlah, cara kita memahami "miskin"
sebagai sebuah kata. Walaupun begitu, "miskin" juga bisa berarti
istilah. Artinya, "miskin" diberikan pengertian yang bersifat khusus
dan akan dipahami secara berbeda dalam bidang tertentu. Misalnya, dalam agama
Islam, ada ungkapan: "Kemiskinan itu akan mendekatkan seseorang pada
penolakan beragama".
Pun dalam agama Kristiani, khususnya kaum Protestan,
memiliki keyakinan:
"Kemiskinan itu harus ditolak, karena kalau kita
kaya di dunia ini, maka kita akan kaya pula di Surga". Tapi tidak begitu
dalam agama Budhis. Ini tersirat dalam keyakinan:
"Dengan menjadi pengemis, maka seseorang akan
mengerti makna kehidupan yang sebenarnya".
Masuk pada bidang sosial, politik, ekonomi, maupun
budaya, "miskin" memiliki satu pengertian yang kompleks atau amat
luas. Istilah ini dapat diartikan macam-macam, sesuai dengan
"maksud", "tujuan", atau "kepentingan" yang ada
dalam penggunaan "miskin" itu.
Misalnya, ketika ditetapkan Millenium Development
Goals oleh masyarakat dunia, khususnya oleh PBB, "kemiskinan itu harus
dapat diatasi pada tahun 2015" adalah slogan yang membawa dampak politis
yang luar biasa. Masing-masing negara, tentunya akan membuat kebijakan ekonomi
yang mengarah pada tujuan tersebut. Begitu juga para politisi akan memakai ini
sebagai bagian dari kampanye.
Selain itu, hal ini juga beraspek budaya, karena
"miskin" lalu dikaitkan dengan sikap hidup manusianya. Pun
berhubungan dengan sosial, karena "miskin" tidak mungkin berada di
luar konteks bermasyarakat. Dengan penjelasan yang serba sedikit, kita mungkin
dapat membayangkan seperti apa bedanya kata dan istilah. Hal ini sebenarnya
terletak pada bagaimana kita mengartikannya, atau bagaimana kita
mendefinisikannya. Semakin teknis suatu kata didefinisikan, maka kata itu
secara langsung akan menjadi istilah. Lalu, terkait dengan apa yang disebut
dengan kalimat dan pernyataan, kita dapat membedakannya secara mudah
sebenarnya. Misalnya dalam contoh di bawah ini.
1. "Adik makan nasi goreng sebelum berangkat
sekolah."
2. "Adik itu makan nasi goreng sebelum berangkat
sekolah."
Contoh 1 ini merupakan kalimat lengkap, karena ada S+P+O+K
("Adik" = Subjek + "makan" = Predikat + "nasi
goreng" = Objek + "sebelum berangkat sekolah" = Keterangan).
Contoh 2 ini merupakan pernyataan, serta terdiri dari
S+K+P ("Adik" = Subjek + "itu" = Kopula + "makan nasi
goreng sebelum berangkat sekolah" = Predikat)
Dengan memperhatikan contoh tersebut, kita dapat
mengenali bahwa kalimat dan pernyataan hanya berbeda tipis saja, yaitu
dibedakan dengan kata "itu". Dalam bahasa Inggris, kata
"itu" yang dimaksud sebenarnya adalah kata "is", yang
artinya "adalah" itu sendiri. Secara lebih jauh, ciri yang membuat
pernyataan itu dibedakan dari kalimat adalah sisi pengujiannya. Kalimat (1) di
atas, tidaklah perlu diuji isinya benar ataupun tidak karena sudah memenuhi
syarat kalimat lengkap. Sedangkan dalam pernyataan (2), hal ini perlu
dibuktikan kembali apakah isinya benar atau salah, khususnya untuk fakta yang
ada pada Predikat dari pernyataannya tersebut.
C.
Konsep dan Asosiatif
Perbedaan makna konseptual dan makna asosiatif didasarkan
pada ada atau tidak adanya hubungan (asosiasi, refleksi) makna sebuah kata
dengan makna kata lain. Secara garis besar Leech (1976) membedakan makna atas
makna konseptual dan makna asosiatif, dalam makna asosiatif termasuk makna
konotatif, stilistik, afektif, refleksi, dan kolokatif.
Makna
konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan
referennya, dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apapun. Jadi,
sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna referensial, makna leksikal
dan makna denotatif. Sedangkan maknan asosiatif adalah makna yang dimiliki
sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar
bahasa. Misalnya, kata ‘melati’ berasosiasi dengan makna ‘suci’, kata ‘merah’
berasosiasi dengan ‘berani’ atau juga dengan golongan ‘komunis’, dan kata
‘cendrawasih’ berasosiasi dengan makna ‘indah’.
D. Idiomatik dan Peribahasa
Makna Idiomatik dan
pribahasa adalah makna yang dapat dibedakan berdasarkan bisa atau tidaknya
diramalkan atau ditelusuri, sebelum kita menjelaskan idiomatikal kita perlu
mengetahui dulu apa yang dimaksud dengan idiom. Idiom adalah satuan ujuran yang
maknanya tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya, baik secra leksikal
maupun gramatikal.
Idiom dibedakan menjadi dua
yaitu, idiom penuh dan idiom sebagaian. Idiom penuh adalah idiom yang semua
unsurnya sudah melebur menjadi satu kesatuan sehingga makna yang dimiliki
berasal dari seluruh kesatuan itu. Contohnya: banting tulang artinya ’bekerja
keras’, meja hijau artinya ’pengadilan’. Sedangkan idiom sebagian adalah idiom
yang salah satu unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri. Contoh:
daftar hitam artinya ’daftar yang berisi nama-nama orang yang dicurigai atau
dianggap bersalah’.
Makna peribahasa adalah
makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena
adanya asosiasi antara makna asli dengan makna sebagai peribahasa. Contohnya
besar pasak dari pada tiang artinya ‘besar pengeluaran dari pada pendapatan’.
Makna pribahasa ini bersifat memperbandingkan atau mengumpamakan, maka bisanya
juga disebut dengan nama perumpamaan. Kata yang sering digunakan dalam
pribahasa yaitu kata seperti, bagai, bak, laksana, umpama, tetapi ada juga
peribahasa yang tidak menggunakan kata-kata tersebut namun kesan peribahasanya
tetap tampak.
E. Makna
Kias
Makna Kias adalah
makna Kata atau leksem yang tidak memiliki arti sebenarnya, yaitu oposisi dari
makna sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa yang tidak merujuk pada
arti sebenarnya (arti leksikal, konseptual, denotatip) disebut arti kiasan
Contohnya: putri malam artinya bulan, raja siang artinya matahari.
RELASI MAKNA
A. Prinsip Relasi Makna
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa dengan satuan bahasa lainnya. Satuan bahasa ini dapat berupa kata, frase, kalimat, dan relasi semantik itu dapat menyatakan kesamaan makna, pertentangan, ketercakupan, kegandaan atau kelebihan makna.
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa dengan satuan bahasa lainnya. Satuan bahasa ini dapat berupa kata, frase, kalimat, dan relasi semantik itu dapat menyatakan kesamaan makna, pertentangan, ketercakupan, kegandaan atau kelebihan makna.
Dalam
setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, seringkali kita temui adanya hubungan
kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya
dengan kata atau satuan bahasa lainnya lagi.Hubungan atau relasi kemaknaan ini
mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonym),
kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponim),
kelebihan makna (redundansi), dan sebagainya. Berikut ini akan dibicarakan
masalah tersebut satu per satu.
B. Jenis Relasi
Makna
1. Sinonim
Secara
etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu anoma
yang berarti ‘nama’, dan syn yang berarti ‘dengan’. Maka secara harfiah
kata sinonimi berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’.Secara
semantik Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata,
frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan
lain. Umpamanya kata buruk dan jelek adalah dua buah kata yang
bersinonim ;bunga, kembang, dan puspa adalah tiga buah kata yang
bersinonom; mati, wafat, meninggal, dan mampus adalah empat buah
kata yang bersinonim.
Menurut
teori Verhaar yang sama tentu adalah informasinya ; padahal informasi ini bukan
makna karena informasi bersifat ekstralingual sedangkan makna bersifat
intralingual. Atau kalau kita mengikuti teori analisis komponen yang sama
adalah bagian atau unsur tertentu saja dari makna itu yang sama. Misalnya kata mati
dan meninggal. Kata mati nemiliki komponen makna : tidak
bernyawa, dapat dikenakan terhadap apa saja (manusia, binatang, pohon).
Sedangkan meninggal memiliki komponen makna : tidak bernyawa, hanya
dikenakan pada manusia. Maka dengan demikian kata mati dan meninggal
hanya bersinonim pada komponen makna tidak bernyawa. Kerena itu, jelas bagi
kita kalau Ali, kucing, dan pohon bisa mati; tetapi yang
bisa meninggal hanya Ali. Sedangkan kucing dan pohon tidak bisa.
Ketidak
mungkinan kita untuk menukar sebuah kata dengan kata lain yang bersinonim
adalah banyak sebabnya, Antara lain,karena ;
Ø
Faktor
waktu. Misalnya kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan. Namun,
keduanya tidak mudah dipertukarkan karena kata hulubalang hanya cocok untuk
situasi kuno, klasik, atau arkais. Sedangkan kata komandan hanya cocok
untuk situasi masa kini (modern)
Ø
Faktor
tempat atau daerah. Misalnya kata saya dan beta adalah
bersinonim. Tetapi kata beta hanya cocok untuk digunakan dalan konteks
pemakaian bahasa Indonesia timur (Maluku) ; sedangkan kata saya dapat
digunakan secara umum di mana saja.
Ø
Faktor
Sosial. Misalnya kata aku dan saya adalah dua buah kata yang
bersinonim; tetapi kata aku hanya dapat digunakan untuk teman sebaya
yang tidak dapat digunakan kepada orang yang lebih tua atau yang status
sosialnya lebih tinggi.
Ø
Faktor
bidang kegiatan. Misalnya kata tasawuf, kebatinan, dan mistik
adalah tiga buah kata yang bersinonim. Namun kata tasawuf hanya lazim
dalam agama Islam; kata kebatinan untuk yang bukan islam; dan kata mistik
untuk semua agama.
Ø
Faktor
nuansa makna. Misalnya kata-kata melihat, melirik, melotot, meninjau,
dan mengintip adalah kata-kata yang bersinonim. Kata melihat memang
bisa digunakan secara umum; tetapi kata melirik hanya digunakan untuk
menyatakan melihat dengan sudut mata; kata melotot hanya digunakan untuk
melihat dengan mata terbuka lebar: kata meninjau hanya digunakan untuk
melihat dari tempat jauh atau tempat tinggi; dan kata mengintip hanya
cocok digunakan untuk melihat dari celah yang sempit.
Dalam
beberapa buku pelajaran bahasa sering dikatakan bahwa sinonim adalah persamaan
kata atau kata-kata yang sama maknanya. Pernyataan ini jelas kurang tepat sebab
selain yang sama bukan maknanya, yang bersinonim pun bukan hanya kata, tetapi
juga banyak terjadiantara satuan-satuan bahasa lainnya. Perhatikan contoh
berikut!
a)
Sinonim
antar morfem (bebas) dengan morfem terikat, seperti antara dia dengan nya,
antara saya dengan ku dalam kalimat
i.
Minta
bantuan dia
ii.
Minta
bantuannya
iii.
Bukan
teman saya
iv.
Bukan
temanku
b)
Sinonim
antar kata dengan kata seperti antara mati dengan meninggal:
antara buruk dengan jelek.
c)
Sinoninm
antara kata dengan frase atau sebaliknya. Misalnya antara meninggal dengan
tutup usia:antara hamil dengan duduk perut.
d)
Sinonim
antara frase dengan frase. Misalnya, antara ayah ibu dengan orang
tua; antara meninggal dunia dengan pulang ke rahmatullah.
e)
Sinonim
antara kalimat dengan kalimat, seperti Adik menendang bola dengan Bola
ditendang adik. Kedua kalimat tersebut dianggap bersinonim, yang pertama
kalimat aktif dan yang kedua lalimat pasif.
Mengenai
sinonim ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama tidak semuakata dalam
bahasa Indonesia mempunyai sinonim. Misalnya kata beras, salju, batu dan
kuning. Kedua ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar tetapi
tidak pada bentuk jadian. Misalnya kata benar bersinonim dengan kata betul;
tetapi kata kebenaran tidak bersinonim dengan kata kebetulan. Ketiga,
ada kata-kata yang tidak mempunyai sinonim pada bentuk dasar tetapi memiliki
sinonim pada bentuk jadian. Misalnya kata jemur tidak mempunyai sinonim
tetapi kata menjemur ada sinonimnya, yaitu mengeringkan; dan berjemur
bersinonim dengan berpanas. Keempat ada kata-kata yang dalam arti
“sebenarnya” tidak mempunyai sinonim, tetapi dalam arti “kiasan” justru
mempunyai sinonim. Misalnya kata hitam dalam makna “sebenarnya” tidak
ada sinonimnya, tetapi dalam arti “kiasan” ada sinonimnya yaitu gelap, mesum,
buruk, jahat dan tidak menentu.
2. Antonim dan Oposisi
Kata
antonimi berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya
‘nama’ dan anti yang artinya ‘melawan’. Maka secara harfiah maka antonim
berarti ‘nama lain untuk benda lain pula’. Secara semantik, Verhaar (1978)
mendefinisikan sebagai: Ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam
bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makan ungkapan
lain. Misalnya kata bagus adalah berantonim dengan kata buruk;
kata besar berantonim dengan kata kecil.
Sama
halnya dengan sinonim, antonimpun terdapat pada semua tataran bahasa: tataran
morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat. Dalam bahasa
Indonesia untuk tataran morfem (terikat) barangkali tidak ada; dalam bahasa
Inggaris kita jumpai contoh thankful dengan thankless, dimana ful
dan less berantonim; antara progresif dengan regresif,
dimana fro dan re berantonim.
Berdasarkan
sifatnya, oposisi dapat dibedakan menjadi:
Ø
Oposisi
Mutlak. Di sini terdapat
pertentangan makna secara mutlak. Umpamanya antara kata hidup dan mati.
Antara hidup dan mati terdapat batas yang mutlak, sebab sesuatu
yang hidup tentu tidak (belum) mati; sedangkan sesuatu yang mati
tentu sudah tidak hidup lagi.
Ø
Oposisi
Kutub. Makna kata-kata yang
termasuk oposisi kutub ini pertentangannya tidak bersifat mutlak, melainkan
bersifat gradasi. Artinya terdapat tingkat-tingkat makna pada kata-kata
tersebut, misalnya, kata kaya dan miskin adalah dua buah kata
yang beroposisi kutub. Pertentangan antara kaya dan miskain tidak
mutlak orang yang tidak kaya belum tentu meras miskin, dan begitu
juga orang yang tidak miskin belum tentu merasa kaya. Kata-kata
yang beroposisi kutub ini umumnya adalah kata-kata dari kelas adjektif, seperti
jauh-dekat, panjang-pendek, tinggi-rendah, terang-gelap, dan luas-sempit.
Ø
Oposisi
Hubungan. Makna kata yang
beroposisi hubungan (relasional) ini bersifat saling melengkapi. Artinya,
kehadiran kata yang satu karena ada kata yang lain yang menjadi oposisinya.
Tanpa kehadiran keduanya maka oposisi ini tidak ada. Umpamanya kata menjual
beroposisi dengan kata membeli. Kata menjual dan membeli
walaupun maknanya berlawanan, tetapi proses kejadiannya berlaku serempak.proses
menjual dan proses membeli terjadi pada waktu yang bersamaan,
sehingga bisa dikatakan tak akan ada proses menjual jika tak ada proses membeli.
Kata-kata yang beroposisi hubungan ini bisa berupa kata kerja seperti mundur-maju,
pulang-pergi, pasang-surut, memberi-menerima, belajar- mengajar, dan
sebagainaya. Selain itu, bisa pula berupa kata benda, seperti ayah- ibu,
guru-murid, atas-bawah, utara-selatan, buruh-majikan, dan sebagainya.
Ø
Oposisi
Hierarki. Makna kata-kata yang
beroposisi hierarkial ini mengatakan suatu deret jenjeng atau tingkatan. Oleh
karena itu kata-kata yang beropossisi hierarkial ini adalah kata-kata yang
berupa nama satuan ukuran (berat, panjang, dan isi), nama satuan hitungan dan
penanggalan, nama jenjang kepangkatan, dan sebagainya. Umpamanya kata meter beroposisi
hierarkial dengan kata kilometer karena berada dalam deretan nama satuan
yang menyatakan ukuran panjang. Kata kuintal dan ton beroposisi
secara hierarkial karena keduanya berada dalam satuan ukuran yang menyatakan
berat.
Ø
Oposisi
Majemuk. Selama ini yang
dibicarakan adalah oposisi diantara dua buah kata, seperti mati-hidup,
menjual-membeli, jauh-dekat, prajurit-opsir. Namun, dalam pembedaharaan
kata Indonesia ada kata-kata yang beroposisi terhadap lebih dari sebuah
kata.Misalnya kata berdiri bisa beroposisi dengan kata duduk, dengan
kata berbaring, dengan kata berjongkok. Keadaan seperti ini lazim
disebut dengan kata istilah oposisi majemuk. Contoh lain, kata diam yang
dapat beroposisi dengan kata berbicara, bergerak, dan bekerja.
3. Homonimi, Homofoni, Homograf
Kata
homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onoma yang artinya ‘nama’ dan homo
yang artinya ‘sama’. Secara rafia homonimi dapat diartikan sebagi “nama
sama untuk benda atau hal lain”. Secara semantik, Verhaar (1978) memberi
definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frasa atau kalimat) yang
bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frasa atau kalimat)
tetapi maknanya tidak sama. Hubungan antara dua buah kata yang homonim bersifat
dua arah.
Hal-hal
yang menyebabkan terjadinya bentuk-bentuk homonimi, yaitu:
1.
bentuk-bentuk
yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau diales yang berlainan.
2.
bentuk-bentuk
yang bersinonimi itu terjadi sebagai hasil proses morfologi.
Hominimi dan sinonimi
dapat terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran
kalimat.
·
Homonimi
antar morfem, tentunya terjadi antara sebuah morfem terikat dengan morfem
terikat lainnya.
·
Homonimi
antar kata, terjadi antara sebuah kata dengan kata lainnya. Misalnya antara
kata bisa yang berarti ‘racun ular’ dan kata bisa yang berarti
‘sanggup, atau dapat’.
·
Homonimi
antar frase, misalnya antara frase cinta anak yang berarti ‘perasaan
cinta dari seorang anak lepada ibunya’ dan frase cinta anak yang berarti
‘cinta lepada anak dari seorang ibu’.
·
Homonimi
antar kalimat, misalnya antara Istri lurah yang baru itu cantik yang
berarti ‘lurah yang baru diangkat itu mempunyai istri yang cantik’, atau ‘lurah
itu baru menikah lagi dengan seorang wanita yang cantik’.
Disamping
homonimi ada pula istilah homofoni dan homogfari. Homofoni dilihat
dari segi “bunyi” (homo=sama, fon=bunyi), sedangkan homografi dilihat
dari segi “tulisan, ejaan” (homo=sama, grafo=tulisan). Homofoni sebetulnya sama
saja dengan homonimi karena realisasi bentuk-bentuk bahasa adalah berupa bunyi.
Namun, dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang homofon tetapi ditulis
dengan ejan yang berbeda karena ingin memperjelas perbedaan makna.
4. Hiponimi dan
Hipernimi
Kata
hiponimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti ‘nama’ dan
hypo berarti “di bawah’. Jadi secara harfiah berarti ‘nama yang termasuk
di bawah nama lain’. Secara semantik, Verhaar (1978: 137) menyatakan hiponim
ahíla ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga frase atau
kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satu ungkapan lain.
Kalau relasi antara dua buah kata yang bersinonim, berantonim, dan berhomonim
bersifat dua arah, maka relasi anatar dua buah kata yang berhiponim ini adalah
searah.
Konsep
hiponimi dan hipernimi mengandaikan adanya kelas bawahan dan kelas atasan,
adanya makna sebuah kata yang berada di bawah makna kata lainnya. Karena itu,
ada kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernimi terhadap sejumlah kata
lain, akan menjadi hiponim terhadap kata lain yang hierarkial berada di
atasnya. Konsep hiponimi dan hipernimi mudah diterapkan pada kata benda tapi
agak sukar pada kata verja atau kata sifat.
5.
Polisemi
Polisemi
lazim diartiakn sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang
memiliki makna lebih dari satu. Umpamanya, kata kepala dalam bahasa
Indonesia memiliki enam makna. Namur, makna –makna yang banyak dari sebuah kata
yang polisemi itu masih ada sangkutpautnya dengan makna asal, karena dijabarkan
dari komponen makna yang ada pada makna asal kata tersebut.
Persoalan
lain yang berkenaan dengan polisemi ini adalah bagaimana kita bisa
membedakannya dengan bentuk-bentuk yang disebut homonimi. Perbedaannya yang
jelas adalah bahwa homonimi bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata aatu
lebih yang kebetulan bentuknya sama. Tentu saja karena homonimi ini bukan
sebuah kata, maka maknanya pun berbeda.
Di
dalam kamus bentuk-bentuk yang homonimi didaftarkan sebagi entri-entri yang
berbeda. Sebaliknya bentuk-bentuk polisemi adalah sebuah kata yang memiliki
makna lebih dari satu. Karena polisemi ini adalah sebuah kata maka di dalam
kamus didaftarkan sebagai sebuah entri. Satu lagi perbedaan antara homonimi dan
polisemi, yaitu makna-makan pada bentuk homonimi tidak ada kaitan atau
hubungannya sama sekali antara yang satu dengan yang lainnya.
6. Ambiguitas
Ambiguitas
atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua
arti. Konsep ini tidak salah, tetapi juga kurang tepat sebab tidak dapat
dibedakan dengan polisemi. Polisemi dan ambiguitas memang sama-sama bermakna ganda.
Hanya kalau kegandaan makna dalam polisemi berasal dari kata, sedangkan
kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih
besar, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur
gramatikal yang berbeda. Dalam bahasa lisan penafsiran ganda ini mungkin tidak
akan terjadi karena struktur gramatical itu dibantu oleh unsur intonasi.
Perbedaan
antara ambiguitas dan homonimi adalah homonimi dilihat sebagai dua bentuk yang
kebetulan sama dan dengan makna yang berbeda, sedangkan ambiguitas adalah
sebuah bentuk dengan makna yang berbeda sebagai akibat dari berbedanya
penafsiran struktur gramatikal bentuk tersebut. Lagi pula ambiguitas hanya
terjadi pada satuan frase dan kalimat sedangkan homonimi dapat terjadi pada
semua satuan gramatikal.
7. Redudansi
Istilah
redudansi sering diartikan sebagai ‘berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental
dalam statu bentuk ujaran. Secara semantik masalah redudansi sebetulnya tidak
ada, sebab salah satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka
makna pun akan berbeda. Makna adalah statu fenomena dalam ujaran (utterance,
internal phenomenon) sedangkan informasi adalah sesuatu yang luar ujaran (utterance-external).
PERUBAHAN
MAKNA
Secara
sinkronis makna sebuah kata tidak akan berubah, maka secara diakronis ada
kemungkinan bisa berubah. Jadi, sebuah kata yang pada suatu waktu dulu bermakna
‘A’ misalnya, maka pada waktu sekarang bisa bermakna ‘ B’, dan pada suatu waktu
kelak mungkin bermakna ‘C’ atau bermakna ‘D’. Sebagai contoh kita lihat kata sastra
yang paling tidak telah tiga kali mengalami perubahan makna. Pada mulanya kata
satra ini bermakna tulisan atau huruf; lalu berubah menjadi bermakna buku;
kemudian berubah lagi menjadi bermakna buku yang baik isinya dan baik
bahasanya; dan sekarang yang disebut karya satra adalah karya yang bersifat
imaginatifkreatif.
Pernyataan
bahwa makna sebuah kata secara sinkronis dapat berubah menyiratkan pula
pengertian bahwa setiap kata maknanya harus atau akan berubah secara diakronis.
Banyak kata yang maknanya sejak dulu sampai sekarang tidak berubah. Malah
jumlahnya mungkin lebih banyak daripada yang berubah atau pernah berubah.
A.
Sebab-sebab Perubahan Makna
Banyak
faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan makna sebuah kata. Di antaranya
adalah :
1.
Perkembangan Dalam Ilmu dan Teknologi
Adanya
perkembangan konsep keilmuan dan teknologi dapat menyebabkan sebuah kata yang
pada mulanya bermakna A menjadi bermakna B atau C. Umpamanya, kata sastra pada
mulanya bermakna ‘tulisan, huruf, lalu berubah menjadi makna ‘bacaan’ ;
kemudian berubah lagi menjadi bermakna ‘buku yang baik isinya dan baik pula
bahasanya’. Selanjutnya, berkembang lagi menjadi ‘karya bahasa yang bersifat
imaginatif dan kreatif. Perubahan makna sastra seperti yang disebutkan tadi
adalah karena berkembangnya atau berubahnya konsep tentang sastra di dalam ilmu
sastra. Begitu juga dalam bidang teknologi, misalnya dulu kapal-kapal
menggunakan layar untuk dapat bergerak. Oleh karena itu muncullah istilah
berlayar dengan makna ‘melakukan perjalanan dengan kapal atau perahu yang
digerakkan tenaga angin’. Namun meskipun tenaga penggerak kapal sudah diganti
dengan mesin uap, turbo, diesel, tetapi kata berlayar masih tetap digunakan
untuk menyebut perjalanan di air itu.
2.
Perkembangan Sosial dan Budaya
Perkembangan
dalam masyarakat berkenaan dengan sikap sosial dan budaya. Juga
menyebabkan terjadinya perubahan makna. Kata saudara, misalnya, pada
mulanya berarti seperut, atau orang yang lahir dari kandungan yang sama. Tetapi
kini, kata saudara digunakan juga untuk menyebut orang lain. Sebagai kata
sapaan, yang diperkirakan sederajat, baik usia maupun kedudukan sosial. Contoh
lain, kata sarjana dulu hanya bermakna ‘orang cerdik pandai’ tetapi kini kata
sarjana itu hanya bermakna ‘orang yang lulus dari perguruan tinggi’.
3.
Perbedaan Bidang Pemakaian
Setiap
bidang kegiatan atau keilmuan biasanya mempunyai sejumlah kosa kata yang
berkenaan dengan bidangnya itu. Umpamanya, dalam bidang pertanian kita temukan
kosa kata seperti menggarap, menuai, pupuk, hama dan panen; dalam bidang agama
islam ada kosa kata seperti iman, khatib, puasa, zakat, dan subuh; dan dalam
bidang pelayaran ada kosa kata seperti berlabuh, berlayar, haluan nakhoda, dan
buritan. Kosa kata yang pada mulanya hanya digunakan pada bidang-bidangnya itu
dalam perkembangan kemudian digunakan juga dalam bidang-bidang lain, dengan
makna baru atauagak lain dengan makna aslinya. Umpamanya, kata menggarap dari
bidang pertanian digunakan juga dalam bidang lain, seperti dalam menggarap
skripsi, menggarap naskah drama, dan menggarap rancangan undang-undang lalu
lintas. Kata membajak yang berasal dari bidang pertanian juga, sudah bisa kini
digunakan dalam bidang lain, seperti dalam membajak buku, membajak pesawat
terbang. Contoh lain, kata jurusan yang berasal dari bidang lalu lintas kini
digunakan juga dalam bidang pendidikan, seperti dalam jurusan bahasa asing,
jurusan hukum perdata, dan lain-lain.
4.
Adanya Asosiasi
Maksudnya
adalah adanya hubungan antara sebuah bentuk ujaran dengan sesuatu yang lain
berkenaan dengan bentuk ujaran itu, sehingga dengan demikian bila disebut
ujaran itu maka yang dimaksud adalah sesuatu yang lain yang berkenaan dengan
ujaran itu.
Contoh :
“Supaya urusan cepat
beres, beri saja amplop”.
Makna amplop sebenarnya
adalah ‘sampul surat’. Akan tetapi dalam kalmat di atas, amplop itu
bermakna ‘uang sogok’. Berarti kata amplop dalam kalimat itu berasosiasi dengan
uang sogok.
5.
Adanaya Tanggapan Indera
Alat
indra kita yang lima mempunyai fungsi masing-masing untuk menangkap
gejala-gejala yang terjadi di dunia ini. Misalnya rasa perasa panas, asin dan
getir ditangkap dengan alat indra perasa, yaitu lidah; gejala yang berkenaan
dengan bunyi ditangkap dengan alat indra pendengar telinga, dan gejala terang
dan gelap ditangkap dengan alat indra mata. Namun, dalam perkembangan pemakaian
bahasa tampak terjadi pertukaran pemakaian alat indra untuk menangkap gejala
yang terjadi di sekitar manusia itu. Misalnya, rasa pedas yang seharusnya
ditangkap oleh alat indra perasa lidah menjadi ditanggap oleh alat pendengar
telinga, seperti dalam ujaran kata-katanya sangat pedas; kata manis yang
seharusnya ditanggap dengan perasa lidah menjadi ditanggap dengan alat indra
mata, seperti dalam ujaran bentuknya sangat manis.
6.
Perbedaan Tanggapan
Setiap
unsur leksikal atau kata sebenarnya secara sinkronis telah mempunyai makna
leksikal yang tetap. Namun karena pandangan hidup dan ukuran dalam norma
kehidupan di dalam masyarakat, maka banyak kata yang menjadi memiliki nilai
rasa yang “rendah”, kurang menyenangkan. Di samping itu ada juga yang menjadi
memiliki nilai rasa yang “tinggi” atau yang mengenakan. Kata-kata yang nilainya
merosot menjadi rendah lazim disebut peyoratif, sedangkan yang nilainya
naik menjadi tinggi disebut amelioratif. Contohnya, kata bini
dewasa ini dianggap peyoratif, sedangkan kata istri dianggap
amelioratif. Kata laki dianggap peyoratif berbeda dengan suami
yang dianggap amelioratif. Kata bang dianggap peyoratif sebaliknya kata bung
dianggap amelioratif.
Apakah
nilai rasa peyoratif dan amelioratif sebuah kata bersifat tetap? Tentu saja
tidak. Nilai rasa itu kemungkinan besar Cuma bersifat sinkronis. Secara
diakronis ada kemungkinan bisa berubah. Sebagai contoh, kata jamban dulu
dianggap bersifat peyoratif dan orang menggantinya dengan kata kaskus
atau W.C. Tetapi dewasa ini kata jamban itu telah kehilangan
sifat peyoratifnya karena pemerintah DKI secara resmi menggunakan lagi kata itu
sebagai istilah baku seperti dalam frase jamban keluarga.
7.
Adanya Penyingkatan
Dalam
Bahasa Indonesia ada sejumlah kata atau ungkapan yang karena sering digunakan,
maka kemudian tanpa diucapkan atau dituliskan secara keseluruhan orang sudah
mengerti maksudnya. Oleh karena itu, maka kemudian orang lebih banyak
menggunakan singkatan saja daripada bentuk utuhnya. Misalnya, kalau dikatakan Ayahnya
meninggal tentu maksudnya adalah meninggal dunia. Jadi, meninggal
adalah bentuk singkatan dari ungkapan meninggal dunia. Contoh lain kalau
dikatakan ke Surabaya dengan garuda tentu maksudnya adalah “naik pesawat
terbang dari perusahaan penerbangan garuda”. Di beberapa sekolah kata perpus
sudah lazim digunakan untuk menyebut perpustakaan, dan kata lab
untuk mengganti kata laboratorium. Termasuk juga kata kata yang di
singkat seperti dok maksudnya dokter, lok maksudnya lokomotif, satpam
maksudnya satuan pengamanan, tilang untuk bukti pelanggaran, dan hankam
untuk pertahanan keamanan.
Kalau
disimak sebetulnya dalam kasus peyingkatan ini bukanlah peristiwa peubahan
makna yang terjadi sebab makna atau konsep itu tetap. Yang terjadi adalah
perubahan bentuk kata. Kata yang semula berbentuk utuh disingkat menjadi bentuk
tidak utuh yang pendek. Malah gejala penyingkatan ini bisa terjadi juga pada
bentuk-bentuk yang sudah dipendekan seperti AMD adalah kependekan dari Abri
Masuk Desa, dan Abri itu sendiri adalah kependekan dari Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia.
8.
Proses Gramatikal
Proses
gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi, dan komposisi (penggabungan kata)
akan menyebabkan pula terjadinya perubahan makna. Tetapi dalam hal ini yang
terjadi sebenarnya bukan perubahan makna, sebab bentuk kata itu sudah berubah
sebagai hasil proses gramatikal. Jadi, tidaklah dapat dikatakan kalau dalam hal
ini telah terjadi perubahan makna, sebab yang terjadi adalah proses gramatikal,
dan proses gramatikal itu telah “melahirkan” makna-makna gramatikal.
9.
Pengembangan Istilah
Salah
satu upaya dalam pengembangan atau pembentukan istilah baru adalah dengan
memanfaatkan kosakata bahasa Indonesia yang ada dengan jalan memberi makna
baru, entah dengan menyempitkan makna kata tersebut, meluaskan, maupun memberi
arti baru sama sekali. Misalnya kata papan yang semula bermakna
‘lempengan kayu’ (besi,dsb)tipis , kini diangkat menjadi istilah untuk makna
‘perumahan’, kata sandang yang semula bermakna ‘selendang’ kini diangkat
menjadi istilah untuk makna ‘pakaian’, dan kata teras yang semula
bermakna ‘inti kayu’ atau ‘saripati kayu’ kini diangkat menjadi unsur pembentuk
istilah untuk makna ‘utama’ atau ‘pimpinan’.
Contoh
lain, perubahan makna sebagai akibat usaha dalam pembentukan istilah seperti
kata-kata canggih, gaya, tapak, paket, menayangkan dan menggalakkan.
JENIS-JENIS
PERUBAHAN MAKNA
A. Meluas
Perubahan
makna yang meluas, menurut Chaer (1995), Pateda (1986), ialah gejala yang
terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah
‘makna’ telah menjadikan makna tersebut meluas karena berbagai-bagai faktor.
Perlu diperhatikan bahwa makna yang terjadi sebagai hasil perluasan itu masih
berada dalam lingkupan polisemi. Makna itu masih ada hubungannya dengan makna
asalnya. Sedangkan Keraf (1986 : 87) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
perluasan arti (makna yang semula), “Ialah sesuatu proses perubahan makna yang
dialami sebuah kata yang mengandung suatu makna yang khusus, kemudian
makna tersebut meluas sehingga melingkupi sebuah kelas makna yang lebih
umum”.
Menurut
Tarigan (1990 : 86) juga menyatakan generalisasi atau perluasan ialah, “Suatu
proses perubahan makna kata dari pada yang lebih khusus kepada yang lebih umum,
atau dari pada yang lebih sempit kepada yang lebih luas”
Contoh:
Kata
|
Makna dulu (lebih khusus)
|
Makna sekarang (lebih umum)
|
Baju
|
Pakaian yang
dikenakan dari pinggang ke atas sampai ke bahu dengan bahan kain bukan kaos
|
Satu set pakaian
yang dikenakan
|
Berlayar
|
Mengarungi lautan
dengan kapal layar
|
Mengarungi lautan
dengan alat apapun
|
Bapak
|
Ayah biologis
|
Sapaan untuk orang
yang sudah berkeluarga, orang yang berusia dewasa, atau orang yang dihormati,
meskipun bukan ayah biologis.
|
Odol
|
Suatu merek pasta
gigi
|
Pasta gigi
|
Kakak
|
Saudara kandung yang
lebih tua
|
Sapaan sopan untuk
siapa saja yang sedikit lebih tua
|
Perluasan
makna ditandai dengan ruang lingkup makna saat ini lebih luas
daripada ruang lingkup makna saat sebelumnya.
B.
Menyempit
Perubahan
makna yang menyempit (pengkhususan makna). Yang dimaksud dengan makna yang
menyempit (pengkhususan makna) menurut Chaer (1995), Pateda (1986) mengatakan
ialah, “gejala yang terjadi pada sebuah kata yang mulanya mempunyai makna yang
cukup luas kemudian berubah menjadi makna yang terbatas hanya pada makna
tertenu saja”. Sedangkan Keraf (1986:97) menyatakan bahwa penyempitan arti
sebuah kata ialah, “sebuah proses yang dialami sebuah kata, yaitu makna yang
lama lebih besar, cakupannya dari pada makna yang baru”. Taringan menyatakan
juga bahwa, “proses pengkhususan mengacu kepada satu perubahan yang
mengakibatkan makna kata menjadi lebih khusus dalam aplikasinya”.
Contoh:
Kata
|
Makna dulu
(lebih khusus)
|
Makna sekarang
(lebih umum)
|
Kyai
|
Orang atau benda
yang dianggap sakti atau berilmu tinggi
|
Ahli agama dan punya
pengikut
|
Sarjana
|
Orang yang berilmu
|
Lulusan pendidikan
perguruan tinggi strata 1
|
Gereja
|
Umat beragama
Kristen
|
Rumah Ibadah agama
Kristen dan jemaatnya.
|
Perluasan
makna ditandai dengan ruang lingkup makna saat ini lebih sempit
daripada ruang lingkup makna saat sebelumnya.
C.
Perubahan Total
Yang
dimaksud dengan perubahan total adalah berubahnya sama sekali makna sebuah kata
dari makna asalnya.
Contoh:
Kata
|
Makna dulu
(lebih khusus)
|
Makna sekarang
(lebih umum)
|
Percuma
|
Gratis, cuma-cuma
|
Sia-sia, tidak ada
manfaatnya
|
Pena
|
Bulu
|
Berbagai jenis alat
tulis yang menggunakan tinta
|
Perluasan
makna ditandai dengan ruang lingkup makna saat ini sama sekali berbeda
dengan ruang lingkup makna saat sebelumnya.
D.
Penghalusan
Penghalusan
atau Eufemia adalah penggantian suatu ujaran yang bernulai rasa netral atau
kasar dengan ujaran lain yang mempunyai makna sama tapi dianggap mempunyai
nilai rasa lebih halus. Makna ujarannya sama, hanya saja diungkapkan dengan
kata yang bernilai rasa lebih halus. Gejala bahasa ini umum ada dalam berbagai
bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Contoh:
Kata
bernuansa rasa netral atau kasar
|
Kata yang bernilai rasa lebih halus
|
Mati
Tadi pagi kakek mati. |
Meninggal dunia
wafat
Tadi pagi kakek meninggal dunia. |
Pemecatan
Pemecatan yang dilakukan perusahaan itu disebabkan krisis keuangan. |
Pemutusan Hubungan
Kerja
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan perusahaan itu disebabkan krisis keuangan. |
Kecelakaan
Tadi malam Pak Adi mengalami kecelakaan. |
Tertimpamusibah
Tadi malam Pak Adi tertimpa musibah. |
Yang
berubah dari eufemia bukanlah makna kata atau makna ujaran, melainkan nilai
rasa. Makna ujaran dipertahankan tetap. Eufemia adalah kebalikan disfemia.
E.
Penegasan
Pengasaran
atau disfemia adalah penggantian suatu ujaran yang bernuansa makna netral atau
halus dengan ujaran lain yang mempunyai makna sama tapi dianggap mempunyai
nilai rasa lebih kasar. Makna ujarannya tetap dipertahankan sama, hanya saja
diungkapkan dengan kata yang bernilai rasa lebih halus. Gejala bahasa
ini umum ada dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Contoh:
No
|
Kata
bernuansa rasa netral atau kasar
|
Kata
yang bernilai rasa lebih halus
|
1
|
Memasukkan
Tendangannya berhasilmemasukkan bola ke gawang lawan. |
Menjebloskan
Tendangannya berhasilmenjebloskan bola ke gawang lawan. |
2
|
Mati
Penjahat itu mati dikeroyok masa. |
Modar
Penjahat itu modar dikeroyok masa. |
3
|
Mengambil
Pencuri mengambil televisi Bu Mirah. |
Menggondol
Pencuri menggondol televisi Bu Mirah. |
Yang
berubah dari disfemia bukanlah makna kata atau makna ujaran, melainkan nilai
rasa. Makna ujaran dipertahankan tetap.
Disfemia digunakan
untuk:
- menunjukkan sikap tidak suka, tidak ramah, atau jengkel (lihat kalimat 2 dan 3 pada contoh di atas)
- memberikan penekanan yang kuat pada suatu tindakan
(lihat kalimat 1)
Nilai rasa kasar terkadang tidak terasa bila digunakan untuk memberi penekanan kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. Semantik
Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta, 2009.
Prof. Dr. Tarigan Guntur, Henry. Pengajaran Semantik. Bandung : Angkasa, 1985.
anaksastra.blogspot.com/2009/03/relasi-makna.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar