Model Membaca Atas-Bawah (MMAB)
Teori ini dikenal
sebagai model psikolinguistik dalam membaca dan teori ini dikembangkan oleh Goodman
(1976). Model ini memandang kegiatan membaca sebagai bagian dari proses
pengembangan skemata seseorang yakni pembaca secara stimultan (terus-menerus)
menguji dan menerima atau menolak hipotesis yang ia buat sendiri pada saat
proses membaca berlangsung. Pada model ini, informasi grafis hanya digunakan
untuk mendukung hipotesa tentang makna. Pembaca tidak banyak lagi membutuhkan
informasi grafis dari bacaan karena mereka telah memiliki modal bacaan sendiri
untuk mengerti bacaan. Proses membaca model ini dimulai dengan hipotesis dan
prediksi-prediksi kemudian memverifikasinya dengan menggunakan stimulus yang
berupa tulisan yang ada pada teks.
Inti dari model membaca atas bawah adalah pembaca memulai
proses pemahaman teks dari tataran yang lebih tinggi. Pembaca memulai tahapan
membacanya dengan membaca prediksi-prediksi, hipotesis-hipotesis, dugaan-dugaan
berkenaan dengan apa yang mungkin ada dalam bacaan, bermodalkan pengetahuan
tentang isi dan bahasa yang dimilikinya. Untuk membantu pemahaman dengan menggunakan
teori ini, pembaca menggunakan strategi yang didasarkan pada penggunaan
petunjuk semantik dan sintaksis, artinya untuk mendapatkan makna bacaan,
pembaca dapat menggunakan petunjuk tambahan yang berupa kompetensi berbahasa
yang ia miliki. Jadi, kompetensi berbahasa dan pengetahuan tentang apa saja
memainkan peran penting dalam membentuk makna bacaan.
Jadi menurut model membaca atas-bawah dapat disimpulkan bahwa pengetahuan,
pengalaman dan kecerdasan pembaca diperlukan sebagai dasar dalam memahami bacaan.
Model membaca atas bawah ini berpijak pada teori
psikolinguistik, mengenai interaksi antara pikiran dan bahasa. Goodman (1967)
bependapat bahwa membaca itu merupakan proses yang meliputi penggunaan isyarat
kebahasaan yang dipilih dari masukan yang diperoleh melalui persepsi pembaca.
Pemilihannnya itu dilakukan dengan kemampuan memperkirakan. Ketika informasi
itu di proses, terjadilah keputusan-keputusan sementara untuk menerima, menolak
atau memperhalus. MMBA menggunakan informasi grafis itu hanya untuk mengukung
atau menolak hipotesis mengenai makna.
Makna diperoleh dengan menggunakan
informasi yang perlu saja dari system isyrat semantik, sintaksis, dan grafik.
Isyarat grafik diturunkan dari media cetak, isyarat-isyarat lainnya berasal
dari kebahasaan pembaca, pembaca mengembangkan berbagai strategi untuk memillih
isyarat grafis yang paling berguna, setelah pembaca menjadi semakin terampil,
informasi grafis itu semakin berkurang pula perlunya, sebab pembaca telah
memiliki perbendaharaan kata dan konsep-konsep yang semakin kaya.
Strategi-strategi untuk membuat perkiraan yang didasarkan pada penggunaan
isyarat semantic dan sintaksis, memungkinkan pembaca untuk memahami materi dan
umtuk mengantisipasi apa yang tampak berikutnya di dalam materi cetak yang
sedang dibaca.
Cake Photo Caption MODEL
MEMBACA BAWAH-ATAS (MMBA)
Dalam uraian terdahulu kita telah membicarakan ihwal
MMBA yang dalam pelaksanaan proses membacanya mengutamakan struktur yang tampak
pada bahan bacaan. Oleh karena itu, model tersebut diistilahkan dengan model
membaca bawah atas, karena proses yang dilaluinya bermula dari bawah, yakni
dari bacaan, bukan dari otak pembacanya.
MMAB mengajukan hal lain. Dalam MMAB kompetensi kognitif dan kompetensi bahasa mempunyai peran
pertama dan utama dalam penyusunan makna dari materi cetak dalam, proses
membaca. Kebanyakan model MMAB ini berpijak pada teori psikolinguistik, yakni
pandangan tentang interaksi antara pikiran dan bahasa. Goodman (1967) yang
melukiskan kegiatan membaca sebagai “permainan menebak" dalam psikolinguistik,
berpendapat bahwa membaca itu merupakan proses yang meliputi penggunaan isyarat
kebahasaan yang dipilih dari masukan yang diperoleh melalui persepsi pembaca.
Pemilihannya itu dilakukan dengan kemampuan memperkirakan atau menerka. Ketika
informasi itu diproses, terjadilah keputusan-keputusan sementara untuk
menerima, menolak, atau mungkin memperhalus masukan tersebut. Berlainan dengan
MMBA, MMAB menggunakan informasi grafis itu hanya untuk mendukung hipotesis
mengenai makna yang sudah terbentuk ketika alat visual menangkap
lambang-lambang cetak. Kata-kata tidak dapat diserap daerah pandangan mata jika
tidak cocok dengan isyarat-isyarat semantik dan sintaksis yang sedang diproses
oleh pembaca dan perkiraan (hipotesis) yang dibuatnya.
Makna (pemahaman) diperoleh dengan menggunakan
informasi yang perlu saja dari system isyarat semantik, sintaksis, dan grafik.
Isyarat grafik atau grafofonemik diturunkan dari materi cetak. Isyarat-isyarat
lainnya berasal dari kompetensi kebahasaan
pembaca yang sudah tersedia di dalam benaknya. Pembaca mengembangkan berbagai
strategi untuk memilih isyarat grafis yang paling berguna. Setelah pembaca
menjadi semakin terampil, informasi grafis itu semakin berkurang pula tingkat
keperluannya, sebab pembaca sudah mempunyai teknik sampling yang lebih baik, kontrol terhadap struktur bahasa
yang lebih baik juga, serta telah memiliki perbendaharaan konsep-konsep yang
lebih kaya.
Strategi-strategi untuk membuat prakiraan yang
didasarkan pada penggunaan isyarat semantik dan sintaksis, memungkinkan pembaca
memahami materi dan mengantisipasi apa yang akan tampak selanjutnya di dalam
materi cetak yang sedang dibacanya itu. Validitas prakiraan itu dicetak melalui
penggunaan strategi-strategi konfirmasi. Jika prakiraan itu tidak cermat, maka
digunakanlah strategi mengoreksi yang di dalamnya terjadi pemrosesan isyarat
tambahan untuk mencari makna bacaan.
Berbeda dengan model-model “membaca sebagai
terjemahan”, para ahli
MMAB berpendapat bahawa pembaca yang terampil selalu melangkah dari kata-kata
tercetak ke bagian makna tanpa merekamnya terlebih dahulu ke dalam ujaran.
Karena pembaca dapat mengetahui makna tanpa melakukan identifikasi kata secara
cermat, maka transformasi dalam bidang vokabuler atau sintaksis yang tidak
mengubah arti dipandang sebagai hal yang dapat diterima. Hal ini desebabkan
pembaca boleh dipandang sebagai orang yang mempunyai pemahaman terhadap
bacaannya itu.
Psikolinguis seperti Goodman dan Smith tidak suka ada
pengajaran keterampilan-keterampilan membaca yang biasa diajarkan secara
berurutan. Psikolinguis yang lain, Shuy (1977), berpendapat bahwa proses
behavioural (hubungan huruf-bunyi) mendominasi kegiatan membaca pada pembaca
pemula. Setelah pembaca itu belajar lebih banyak lagi, maka dia semakin
mengarah pada strategi-strategi kognitif.
Fungsi mata memainkan peranan minor dalam kegitan
membaca dengan model ini. Model membaca dengan tipe MMAB ini tampaknya
dilandasi oleh sebuah asumsi tentang prinsip kerja mata. Prinsip ini menganut pandangan
bahwa jika seseorang terlalu menaruh harapan pada kerja visual akan berdampak
negatif terhadap keberhasilan membaca. Semakin besar harapan kita terhadap
kerja mata, semakin sulitlah mata untuk mampu melihat. Seseorang yang terlalu
memfokuskan perhatian terhadap bacaan yang ada di depan matanya dapat mengalami
kebutaan sementara. Halaman yang sedang dibaca bisa menjadi kosong tak
bertuliskan apa-apa. Salah satu
kendala yang dihadapi anak yang sedang belajar membaca ialah seringnya mereka
tidak mampu melihat huruf yang cukup banyak dalam sekali pandang. Dengan MMAB,
kendala tersebut dapat diatasi degan jalan melakukan prediksi. Mungkin, pembaca
hanya butuh melihat beberapa huruf dari kelompok huruf yang seharusnya
dilihatnya, namun dia akan beroleh pemahaman yang sama seperti jika dia melihat
seluruh huruf yang terdapat dalam kelompok huruf tersebut. Dengan bantuan
prediksi, beban kerja mata pada saat membaca menjadi berkurang.
Memang benar, mata memainkan peranan tertentu dalam
kegiatan membaca. Orang tidak akan dapat membaca dengan mata tertutup atau
dalam keadaan gelap. Namun, informasi visual itu semata-mata tidaklah cukup.
Untuk membuktikan kebenaran pernyataan tersebut, bacalah wacana di bawah ini.
“Increasing numbers of late Pleitocene macrofossil
indicate that boreal spruce forest similar to the existing taiga in Canada was
present on the northern Plains at the same time”
Apakah informasi visual yang tersaji dalam wacana di
atas dapat menolong kita untuk memahami makna wacana itu? Bukankah kita akan
menjawab “tidak”? Nah, sekarang jelaslah bahwa informasi visual semata-mata
tidaklah cukup untuk memberi kita sebuah pemahaman tentang isi wacana yang
bersangkutan. Untuk memahami wacana yang dibacanya, pembaca memerlukan
bekal dasar lain. Penguasaan bahasa yang digunakan dalam wacana, keakraban
dengan bidang pengetahuan yang disajikan di dalamnya, dan kemampuan umum dalam
kegiatan membaca, merupakan hal-hal yang harus dimiliki pembaca untuk memahami
isi wacana yang bagaimanapun bentuknya. Hal-hal tersebut dapat kita golongkan
ke dalam golongan informasi nonvisual.
Model membaca atas-bawah tampaknya sejalan dengan
pendapat Nutall (1989) dan Goodman (1967). Mereka melukiskan proses pemahaman
bacaan itu sebagai psycholinguistic guessing game. Kemampuan memahami
bacaan dilukiskan bukan sekedar kemampuan mengambil dan memetik makna bacaan
dari materi cetak, melainkan juga proses menyusun konteks yang tersedia guna
membentuk makna. Pernyataan Goodman tersebut mengimplisitkan tentang peran
skema/skemata dalam proses membaca. Latar belakang pengetahuan dan pengalaman
pembaca akan memberi warna terhadap kualitas dan kuantitas pemahaman bacaan
seseorang. Inilah yang disebut Smith (1989) sebagai informasi nonvisual.
Bagi Smith, pemahaman bacaan mengandung arti proses menghubungkan bahan
tertulis dengan apa yang telah diketahui dan ingin diketahui pembaca. Dengan
demikian, dalam kegiatan membaca proses pemahaman bacaan akan diperoleh melalui
informasi visual dan informasi nonvisual.
<!--[if
!vml]--><!--[endif]--><!--[if
!vml]--><!--[endif]--><!--[if
!vml]--><!--[endif]--><!--[if
!vml]--><!--[endif]--><!--[if
!vml]--><!--[endif]-->Sekarang, dapatkah anda membedakan informasi visual
dengan informasi nonvisual? Secara kasar kita dapat mengatakan bahwa informasi
visual akan/bisa hilang bersamaan dengan hilangnya cahaya penerang. Informasi
nonvisual ada di dalam pikiran setiap pembaca, di belakang matanya. Informasi
visual dan informasi nonvisual itu mempunyai hubungan yang tidak jelas, tetapi
keduanya sangat dibutuhkan dalam kegiatan membaca. Hubungan timbal balik antara
kedua informasi visual dan informasi nonvisual itu dapat digambarkan dalam diagram di bawah ini.
<!--[if
!vml]--><!--[endif]-->
Gambar di atas itu memperlihatkan ilustrasi bahwa
semakin banyak infomasi nonvisual dimiliki dan dimanfaatkan seseorang dalam
kegiatan membaca, kebutuhan akan informasi visual akan semakin berkurang.
Sebaliknya, semakin sedikit informasi nonvisual yang dimiliki seseorang,
semakin banyaklah informasi visual yang diperlukannya. Secara mudah dapat
dikatakan bahwa semakin banyak pengetahuan pembaca sebelumnya, semakin
berkuranglah hal-hal yang harus dicari dan ditemukannya dalam bacaan.
<!--[if
!vml]--><!--[endif]--><!--[if
!vml]--><!--[endif]--><!--[if
!vml]--><!--[endif]--><!--[if
!vml]--><!--[endif]--><!--[if
!vml]--><!--[endif]--><!--[if
!vml]--><!--[endif]--><!--[if
!vml]--><!--[endif]--><!--[if
!vml]--><!--[endif]--><!--[if
!vml]--><!--[endif]-->Kenyataan bahwa informasi visual dan informasi
nonvisual itu dapat saling menggantikan dalam proses membaca, sangat perlu diperhatikan. Otak mempunyai
kemampuan yang terbatas untuk mengelola informasi visual. Mata akan memperoleh
kesempatan untuk beristirahat, jika pembaca dapat menggunakan informasi
nonvisualnya atau pengalamannya itu dengan sebaik-baiknya. Untuk mengatasi
bacaan yang sulit, pembaca dapat mengurangi kecepatan bacanya dan
mengasimilasikan informasi visual lebih banyak, sebab di antara mata dan otak
itu ada bottleneck. Mengenai hal ini dapat dilukiskan melalui gambar
berikut. Gambar ini memperlihatkan bagaimana dan sejauh mana otak dapat
menampung informasi dari informasi visual yang tampak dalam materi cetak.
<!--[if
!vml]--><!--[endif]--><!--[if
!vml]--><!--[endif]--><!--[if
!vml]--><!--[endif]-->
Otak itu mudah kewalahan oleh informasi visual
sehingga kemampuan untuk melihat menjadi sangat terbatas bahkan bisa berhenti
sejenak. Oleh karena itu, kemampuan dasar membaca tidak lain dari kemampuan
menggunakan informasi nonvisual secara maksimum, dan mengurangi
sebanyak-banyaknya informasi melalui mata.
Biasanya banyak orang beranggapan bahwa seseorang
dapat melihat segala sesuatu yang ada didepan matanya, asalkan orang tersebut
berada di tempat terang dengan mata terbuka. Bahkan kita juga berkeyakinan bahwa
penglihatan itu bersifat langsung; kita melihat sesuatu seketika penglihatan
kita terarah kepada sesuatu itu. Lebih dari itu, kita juga mengira bahwa
matalah yang bekerja dan bertanggungjawab untuk benda-benda yang kita lihat
itu. Namun sesungguhnya, mata kita sama sekali tidak melihat. Tugas mata tidak
lebih dari sekedar menyerap informasi visual dalam bentuk berkas cahaya dan
mengubahnya menjadi energi syaraf yang merambat melalui jutaan serabut syaraf
optik, kemudian masuk ke dalam otak. Yang kita lihat sesungguhnya adalah
interpretasi otak terhadap pesan, kesan, berita yang masuk melalui syaraf.
Dengan kata lain, otaklah yang melihat, sedangkan mata hanyalah “memandang”
atas perintah otak.
Otak, sudah tentu, tidak melihat segala sesuatu yang
ada yang terjadi di depan mata. Oleh karena itu, seringkali otak itu pun
berbuat salah atau bahkan dapat melihat sesuatu yang tidak berada di depan mata
kita. Inilah yang disebut kegiatan “memprediksi”, kegiatan memperkirakan.
Sebuah perkiraan, tentu saja bisa benar dan bisa juga salah. Hal inilah yang
kemudian menjadi bahan kritikan para pakar yang tidak sependapat dengan
pandangan MMAB.
Dengan kata lain, persepsi visual itu meluputi
keputusan-keputusan yang terjadi dalam otak. Waktu kita melihat seekor kuda di seberang
lapangan, otaklah yang menentukan yang kita lihat itu adalah kuda. Kita pun
akan melihat kuda meski otak membuat kekeliruan. Jika kita diberi alamat oleh
seseorang dengan tulisan seperti tertera di bawah ini :
JALAN MIOS IO
Yang kita lihat adalah dua kata: Jalan mios dan
angka sepuluh. Padahal, jika kita teliti kembali lambang yang dipakai
untuk menyatakan bilangan sepuluh itu sama benar dengan huruf yang menyatakan
bunyi /I/ dan /O/. Informasi visual yang sama itu diinterpretasikan
dalam otak sebagai lambang yang berbeda. Dengan demikian, jelaslah bahwa otak
mempunyai peranan penting dalam kegiatan membaca. Thorndike berkata bahwa
membaca adalah berfikir.
Banyak ahli berpendapat bahwa kegiatan membaca itu
harus berdasarkan fonik. Bagi mereka, orang dapat membaca karena dimungkinkan
oleh fonik. Bagaimana mungkin orang mengenali kata-kata tanpa menyuarakannya?
Terhadap pernyataan itu kita dapat memberikan jawaban
bahwa kita mengenali kata-kata itu dengan cara yang sama dengan cara mengenali
objek-objek lainnya, seperti pepohonan, binatang, awan, gunung, kapal terbang,
mobil, kereta api, meja, kursi, nasi, roti, dan sebagainya, ialah dengan sekali
pandang. Tidak ada perbedaan fundamental antara pengenalan terhadap objek-objek
berdimensi tiga itu dengan pengenalan terhadap huruf-huruf dan kata-kata.
Menurut hasil penelitian, orang merespon lebih cepat terhadap kata-kata
tertulis kuning, merah, biru, hijau, hitam, dan sebagainya
daripada kepada kertas yang diberi warna tersebut yang ditunjukkan kepadanya.
Makna lebih
erat hubungannya dengan tulisan daripada dengan suara. Kata bang dan bank
berbeda maknanya bukan karena berbeda bunyinya melainkan karena berbeda
penampilannya. Kedua kata tersebut mendekod bunyi yang sama, tetapi artinya
tetap berbeda, karena penulisannya berbeda.
Fonik itu tidak efektif. Lebih dari itu, tidak perlu.
Hal tersebut dapat lebih jelas dibuktikan pada orang-orang Jepang atau Cina
yang menggunakan logografik. Kata-kata tertulis itu merupakan
lambang-lambang ide, bukan lambang-lambang bunyi. Orang Katon dan Mandarin yang
berbeda tuturnya, masih dapat berkomunikasi dengan menggunakan tulisan, karena
sistem tulisan mereka kebetulan sama. Kalau anda mendengar kalimat Deux et
deux font quatre, dapatkah anda memahami maknanya? Ya, sebagian besar
mungkin akan menjawab “tidak”. Mengapa sebagian besar dari kita tidak memahaminya?
Hal ini disebabkan kita tidak memahami bunyi bahasa mereka, tidak pula memahami
struktur kalimat yang mereka guanakan. Kalimat tersebut sebenarnya bisa diganti
dengan lambang 2 + 2 = 4. Sekarang, tidak seorang pun di antara kita yang akan
berkata “Saya tidak memahami artinya”. Dengan demikian, sekali lagi dapat kita
buktikan bahwa kegiatan dekod itu tidak perlu.
Dalam model membaca yang menunjukkan gerak dari atas
ke bawah ini, atau membaca dari belakang, dikenal istilah tunnel
vision, yakni peristiwa penyempitan pandangan. Jika sewaktu membaca,
seseorang hanya dapat menggunakan dan memanfaatkan sebagian kecil saja
informasi nonvisual, maka materi cetak yang dapat dilihatnya pun sedikit pula. Jika
pembaca tidak dapat menggunakan informasi nonvisual itu sepenuhnya, maka
penglihatannya akan sangat terbatas. Penglihatan yang sangat terbatas itu
disebut tunnel vision. Tunnel vision bukanlah penyakit mata. Hal ini bisa
terjadi, baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Gangguan tunnel vision (TV)
ini pun tidak hanya terjadi pada kegiatan membaca, pada saat orang sedang
membaca. Tunnel vision TV terjadi pada setiap situasi, yakni manakala otak
dipaksa untuk memproses bahan dalam bentuk informasi yang nonvisual.
Kemampuan membaca bergantung pada kemampuan menggunakan
informasi secara ekonomis dan pada penggunaan informasi nonvisual
sebanyak-banyaknya. Namun, tunnel vision ini tampaknya tidak dapat dihindarkan
dalam hal-hal berikut ini:
1) Membaca sesuatu yang tidak
bermakna akan menimbulkan TV. Jika pada waktu membaca, seorang tidak dapat
membuat prakiraan yang biasa terjadi sebagai akibat dari materi bacaan yang
tidak terpahami, maka pembaca akan mengalami hal yang sama, TV.
2) Pembaca
yang enggan memanfaatkan informasi nonvisual akan mengalami TV. Penggunaan
infomasi nonvisual memang mengandung resiko. Pembaca selalu dihadapkan pada
kemungkinan berbuat keliru. Akan tetapi, jika pembaca tidak melakukan
kekeliruan dalam kegiatan membacanya, mungkin dia itu membaca tidak efisien,
sebab dia membaca informasi visual lebih dari yang semestinya. Kekeliruan tidak
perlu dikuatirkan dalam upaya membaca, asalkan pembaca untuk menggunakan
informasi nonvisual yang semestinya. Kalau dalam bacaannya seseorang pembaca
membaca rumah untuk kata asrama maka kesalahan seperti itu tidak perlu
dikuatirkan.
Akibat terbesar yang disebabkan oleh keengganan terjadi bila keengganan itu timbul karena kecemasan. Dalam situasi yang mana pun dalam hidup kita semakin banyaklah informasi yang dia perlukan sebelum mengambil keputusan itu. Kecemasannya itu menimbulkan TV, dan TV menghilangkan kemungkinan pemahaman yang layak.
Akibat terbesar yang disebabkan oleh keengganan terjadi bila keengganan itu timbul karena kecemasan. Dalam situasi yang mana pun dalam hidup kita semakin banyaklah informasi yang dia perlukan sebelum mengambil keputusan itu. Kecemasannya itu menimbulkan TV, dan TV menghilangkan kemungkinan pemahaman yang layak.
3) Kebiasaan membaca yang jelek
menimbulkan terjadinya TV. Jika pembaca membaca terlalu lambat akan menimbulkan
TV, sebab system visual akan tertimbun oleh informasi visual yang diupayakan
untuk diperolehnya dari materi bacaan. Jika pembaca enggan untuk membaca laju
ke depan, jika dia mengulang-ulang bacaanya untuk mengingat hal-hal yang
kecil-kecil, jika dia mencoba membaca cermat setiap kata dalam setiap untaian
kalimat maka dia akan menghadapi TV. Sayang sekali, kebiasaan jelek itu
merupakan bahan pengajaran untuk meyakinkan bahwa dengan jalan demikian anak
akan padai membaca.
Dapatkah TV itu diatasi?
Jika yang menjadi sebab terjadinya TV itu jelas, maka penyembuhannya mudah
dilakukan. Jika TV pada anak timbul karena materi bacaanya tidak bermakna
baginya, guru harus mencarikan bahan yang sesuai dengan tingkat kebutuahan
muridnya. Rumus keterbacaan tidak dapat digunakan dalam hal ini, sebab
masalahnya sangat relatif. Bacaan yang terasa mudah bagi seorang anak mungkin
sama sekali tidak bisa diprakirakan oleh anak lainnya. Formula-formula
keterbacaan yang biasa digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan wacana
hanya sanggup mendeteksi kelayakan bahan bacaan tertentu untuk peringkat
pembaca tertentu, dalam artian kelompok pembaca. Di samping itu,
formula-formula keterbacaan hanya menangani masalah bahan bacaan, bukan
pembacanya; sedangkan TV terjadi pada diri pembacanya. TV terjadi pada anak
secara individual. Oleh karena itu, penanganannya pun harus didekati secara
indivudual. Karena itulah, formula-formula keterbacaan tidak akan banyak
menolong untuk mengatasi TV pada seseorang.
Jika TV itu timbul karena
anak tidak mempunyi latar belakang pengalaman yang layak tentang isi bacaannya,
maka guru dituntut untuk memberikan pengetahuan tentang hal-hal yang
berhubungan dengan bacaanya itu. Caranya bermacam-macam, mungkin dengan jalan
memberikan pengalaman dari buku lain yang mudah bagi anak, melaui film,
ceramah, atau membacakan buku-buku yang ditugaskan kepada murid sebelum memulai
pelajaran, dan sebagainya. Kemampuan membaca tidak semata-mata akan membaik
dengan pemberian tugas yang bertubi-tubi. Terlebih-lebih jika materi bacaan
yang ditugaskan tersebut dipandang sukar oleh siswa.
TV pada anak mungkin timbul
karena perasaan takut berbuat salah. Jika anak dihinggapi perasaan takut, maka
upaya untuk memahami bacaan melaui proses belajar tidak akan berhasil. Membuat
prakiraan itu mempunyai risiko. Anak yang takut membuat kesalahan tidak akan
dapat belajar, bahkan tidak pula akan dapat membaca seperti yang diharapkan.
Anak-anak seperti itu harus diberi keyakinan bahwa "membuat kesalahan itu tidak
perlu ditakuti", karena
banyak orang yang berhasil karena justru mereka belajar dari kesalahan yang
telah dilakukannya. Mereka harus belajar membebaskan diri dari sifat was-was
dan ragu-ragu yang mengganggu pikirannya itu.
Anak-anak yang menghadapi
TV karena kebiasaan membaca yang jelek harus dipaksa untuk berlatih membaca
cepat. Mereka harus diyakinkan bahwa membaca lambat itu bisa menyelubungi makna
bacaan. Berbagai penelitian menunjukkan bukti bahwa membaca cepat dipandang
efisien dan mempermudah upaya memahami isi bacaan. Banyak orang
melambatkan bacaanya karena mereka takut tidak dapat memahami isi bacaan itu.
Dengan kemampuan membaca cepat yang
lebih baik, maka pengetahuan yang diperolehnya pun
akan semakin baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar