Kamis, 31 Januari 2013

Model Membaca


Model Membaca Atas-Bawah (MMAB)
Teori ini dikenal sebagai model psikolinguistik dalam membaca dan teori ini dikembangkan oleh Goodman (1976). Model ini memandang kegiatan membaca sebagai bagian dari proses pengembangan skemata seseorang yakni pembaca secara stimultan (terus-menerus) menguji dan menerima atau menolak hipotesis yang ia buat sendiri pada saat proses membaca berlangsung. Pada model ini, informasi grafis hanya digunakan untuk mendukung hipotesa tentang makna. Pembaca tidak banyak lagi membutuhkan informasi grafis dari bacaan karena mereka telah memiliki modal bacaan sendiri untuk mengerti bacaan. Proses membaca model ini dimulai dengan hipotesis dan prediksi-prediksi kemudian memverifikasinya dengan menggunakan stimulus yang berupa tulisan yang ada pada teks.
Inti dari model membaca atas bawah adalah pembaca memulai proses pemahaman teks dari tataran yang lebih tinggi. Pembaca memulai tahapan membacanya dengan membaca prediksi-prediksi, hipotesis-hipotesis, dugaan-dugaan berkenaan dengan apa yang mungkin ada dalam bacaan, bermodalkan pengetahuan tentang isi dan bahasa yang dimilikinya. Untuk membantu pemahaman dengan menggunakan teori ini, pembaca menggunakan strategi yang didasarkan pada penggunaan petunjuk semantik dan sintaksis, artinya untuk mendapatkan makna bacaan, pembaca dapat menggunakan petunjuk tambahan yang berupa kompetensi berbahasa yang ia miliki. Jadi, kompetensi berbahasa dan pengetahuan tentang apa saja memainkan peran penting dalam membentuk makna bacaan.
Jadi menurut model membaca atas-bawah dapat disimpulkan bahwa pengetahuan, pengalaman dan kecerdasan pembaca diperlukan sebagai dasar dalam memahami bacaan.
Model membaca atas bawah ini berpijak pada teori psikolinguistik, mengenai interaksi antara pikiran dan bahasa. Goodman (1967) bependapat bahwa membaca itu merupakan proses yang meliputi penggunaan isyarat kebahasaan yang dipilih dari masukan yang diperoleh melalui persepsi pembaca. Pemilihannnya itu dilakukan dengan kemampuan memperkirakan. Ketika informasi itu di proses, terjadilah keputusan-keputusan sementara untuk menerima, menolak atau memperhalus. MMBA menggunakan informasi grafis itu hanya untuk mengukung atau menolak hipotesis mengenai makna.
Makna diperoleh dengan menggunakan informasi yang perlu saja dari system isyrat semantik, sintaksis, dan grafik. Isyarat grafik diturunkan dari media cetak, isyarat-isyarat lainnya berasal dari kebahasaan pembaca, pembaca mengembangkan berbagai strategi untuk memillih isyarat grafis yang paling berguna, setelah pembaca menjadi semakin terampil, informasi grafis itu semakin berkurang pula perlunya, sebab pembaca telah memiliki perbendaharaan kata dan konsep-konsep yang semakin kaya. Strategi-strategi untuk membuat perkiraan yang didasarkan pada penggunaan isyarat semantic dan sintaksis, memungkinkan pembaca untuk memahami materi dan umtuk mengantisipasi apa yang tampak berikutnya di dalam materi cetak yang sedang dibaca.




Cake Photo Caption MODEL MEMBACA BAWAH-ATAS (MMBA)

Dalam uraian terdahulu kita telah membicarakan ihwal MMBA yang dalam pelaksanaan proses membacanya mengutamakan struktur yang tampak pada bahan bacaan. Oleh karena itu, model tersebut diistilahkan dengan model membaca bawah atas, karena proses yang dilaluinya bermula dari bawah, yakni dari bacaan, bukan dari otak pembacanya.
MMAB mengajukan hal lain. Dalam MMAB kompetensi kognitif dan kompetensi bahasa mempunyai peran pertama dan utama dalam penyusunan makna dari materi cetak dalam, proses membaca. Kebanyakan model MMAB ini berpijak pada teori psikolinguistik, yakni pandangan tentang interaksi antara pikiran dan bahasa. Goodman (1967) yang melukiskan kegiatan membaca sebagai “permainan menebak" dalam psikolinguistik, berpendapat bahwa membaca itu merupakan proses yang meliputi penggunaan isyarat kebahasaan yang dipilih dari masukan yang diperoleh melalui persepsi pembaca. Pemilihannya itu dilakukan dengan kemampuan memperkirakan atau menerka. Ketika informasi itu diproses, terjadilah keputusan-keputusan sementara untuk menerima, menolak, atau mungkin memperhalus masukan tersebut. Berlainan dengan MMBA, MMAB menggunakan informasi grafis itu hanya untuk mendukung hipotesis mengenai makna yang sudah terbentuk ketika alat visual menangkap lambang-lambang cetak. Kata-kata tidak dapat diserap daerah pandangan mata jika tidak cocok dengan isyarat-isyarat semantik dan sintaksis yang sedang diproses oleh pembaca dan perkiraan (hipotesis) yang dibuatnya.
Makna (pemahaman) diperoleh dengan menggunakan informasi yang perlu saja dari system isyarat semantik, sintaksis, dan grafik. Isyarat grafik atau grafofonemik diturunkan dari materi cetak. Isyarat-isyarat lainnya berasal dari kompetensi kebahasaan pembaca yang sudah tersedia di dalam benaknya. Pembaca mengembangkan berbagai strategi untuk memilih isyarat grafis yang paling berguna. Setelah pembaca menjadi semakin terampil, informasi grafis itu semakin berkurang pula tingkat keperluannya, sebab pembaca sudah mempunyai teknik sampling yang lebih baik, kontrol terhadap struktur bahasa yang lebih baik juga, serta telah memiliki perbendaharaan konsep-konsep yang lebih kaya.
Strategi-strategi untuk membuat prakiraan yang didasarkan pada penggunaan isyarat semantik dan sintaksis, memungkinkan pembaca memahami materi dan mengantisipasi apa yang akan tampak selanjutnya di dalam materi cetak yang sedang dibacanya itu. Validitas prakiraan itu dicetak melalui penggunaan strategi-strategi konfirmasi. Jika prakiraan itu tidak cermat, maka digunakanlah strategi mengoreksi yang di dalamnya terjadi pemrosesan isyarat tambahan untuk mencari makna bacaan.
Berbeda dengan model-model “membaca sebagai terjemahan”, para ahli MMAB berpendapat bahawa pembaca yang terampil selalu melangkah dari kata-kata tercetak ke bagian makna tanpa merekamnya terlebih dahulu ke dalam ujaran. Karena pembaca dapat mengetahui makna tanpa melakukan identifikasi kata secara cermat, maka transformasi dalam bidang vokabuler atau sintaksis yang tidak mengubah arti dipandang sebagai hal yang dapat diterima. Hal ini desebabkan pembaca boleh dipandang sebagai orang yang mempunyai pemahaman terhadap bacaannya itu.
Psikolinguis seperti Goodman dan Smith tidak suka ada pengajaran keterampilan-keterampilan membaca yang biasa diajarkan secara berurutan. Psikolinguis yang lain, Shuy (1977), berpendapat bahwa proses behavioural (hubungan huruf-bunyi) mendominasi kegiatan membaca pada pembaca pemula. Setelah pembaca itu belajar lebih banyak lagi, maka dia semakin mengarah pada strategi-strategi kognitif.
Fungsi mata memainkan peranan minor dalam kegitan membaca dengan model ini. Model membaca dengan tipe MMAB ini tampaknya dilandasi oleh sebuah asumsi tentang prinsip kerja mata. Prinsip ini menganut pandangan bahwa jika seseorang terlalu menaruh harapan pada kerja visual akan berdampak negatif terhadap keberhasilan membaca. Semakin besar harapan kita terhadap kerja mata, semakin sulitlah mata untuk mampu melihat. Seseorang yang terlalu memfokuskan perhatian terhadap bacaan yang ada di depan matanya dapat mengalami kebutaan sementara. Halaman yang sedang dibaca bisa menjadi kosong tak bertuliskan apa-apa. Salah satu kendala yang dihadapi anak yang sedang belajar membaca ialah seringnya mereka tidak mampu melihat huruf yang cukup banyak dalam sekali pandang. Dengan MMAB, kendala tersebut dapat diatasi degan jalan melakukan prediksi. Mungkin, pembaca hanya butuh melihat beberapa huruf dari kelompok huruf yang seharusnya dilihatnya, namun dia akan beroleh pemahaman yang sama seperti jika dia melihat seluruh huruf yang terdapat dalam kelompok huruf tersebut. Dengan bantuan prediksi, beban kerja mata pada saat membaca menjadi berkurang.
Memang benar, mata memainkan peranan tertentu dalam kegiatan membaca. Orang tidak akan dapat membaca dengan mata tertutup atau dalam keadaan gelap. Namun, informasi visual itu semata-mata tidaklah cukup. Untuk membuktikan kebenaran pernyataan tersebut, bacalah wacana di bawah ini.
“Increasing numbers of late Pleitocene macrofossil indicate that boreal spruce forest similar to the existing taiga in Canada was present on the northern Plains at the same time”
Apakah informasi visual yang tersaji dalam wacana di atas dapat menolong kita untuk memahami makna wacana itu? Bukankah kita akan menjawab “tidak”? Nah, sekarang jelaslah bahwa informasi visual semata-mata tidaklah cukup untuk memberi kita sebuah pemahaman tentang isi wacana yang bersangkutan. Untuk memahami wacana yang dibacanya, pembaca memerlukan  bekal dasar lain. Penguasaan bahasa yang digunakan dalam wacana, keakraban dengan bidang pengetahuan yang disajikan di dalamnya, dan kemampuan umum dalam kegiatan membaca, merupakan hal-hal yang harus dimiliki pembaca untuk memahami isi wacana yang bagaimanapun bentuknya. Hal-hal tersebut dapat kita golongkan ke dalam golongan informasi nonvisual.
Model membaca atas-bawah tampaknya sejalan dengan pendapat Nutall (1989) dan Goodman (1967). Mereka melukiskan proses pemahaman bacaan itu sebagai psycholinguistic guessing game. Kemampuan memahami bacaan dilukiskan bukan sekedar kemampuan mengambil dan memetik makna bacaan dari materi cetak, melainkan juga proses menyusun konteks yang tersedia guna membentuk makna. Pernyataan Goodman tersebut mengimplisitkan tentang peran skema/skemata dalam proses membaca. Latar belakang pengetahuan dan pengalaman pembaca akan memberi warna terhadap kualitas dan kuantitas pemahaman bacaan seseorang. Inilah yang disebut Smith (1989) sebagai informasi nonvisual. Bagi Smith, pemahaman bacaan mengandung arti proses menghubungkan bahan tertulis dengan apa yang telah diketahui dan ingin diketahui pembaca. Dengan demikian, dalam kegiatan membaca proses pemahaman bacaan akan diperoleh melalui informasi visual dan informasi nonvisual.
<!--[if !vml]--><!--[endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]-->Oval: Membaca

<!--[if !vml]--><!--[endif]-->Oval: Informasi Nonvisual

<!--[if !vml]--><!--[endif]-->Oval: Informasi Visual

<!--[if !vml]--><!--[endif]-->Sekarang, dapatkah anda membedakan informasi visual dengan informasi nonvisual? Secara kasar kita dapat mengatakan bahwa informasi visual akan/bisa hilang bersamaan dengan hilangnya cahaya penerang. Informasi nonvisual ada di dalam pikiran setiap pembaca, di belakang matanya. Informasi visual dan informasi nonvisual itu mempunyai hubungan yang tidak jelas, tetapi keduanya sangat dibutuhkan dalam kegiatan membaca. Hubungan timbal balik antara kedua informasi visual dan informasi nonvisual itu dapat digambarkan dalam diagram di bawah ini.

 <!--[if !vml]--><!--[endif]-->


                                                                                           
Gambar di atas itu memperlihatkan ilustrasi bahwa semakin banyak infomasi nonvisual dimiliki dan dimanfaatkan seseorang dalam kegiatan membaca, kebutuhan akan informasi visual akan semakin berkurang. Sebaliknya, semakin sedikit informasi nonvisual yang dimiliki seseorang, semakin banyaklah informasi visual yang diperlukannya. Secara mudah dapat dikatakan bahwa semakin banyak pengetahuan pembaca sebelumnya, semakin berkuranglah hal-hal yang harus dicari dan ditemukannya dalam bacaan.
<!--[if !vml]--><!--[endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]-->Oval: Informasi Nonvisual

<!--[if !vml]--><!--[endif]-->Oval: Informasi Visual

<!--[if !vml]--><!--[endif]-->Kenyataan bahwa informasi visual dan informasi nonvisual itu dapat saling menggantikan dalam proses membaca, sangat perlu diperhatikan. Otak mempunyai kemampuan yang terbatas untuk mengelola informasi visual. Mata akan memperoleh kesempatan untuk beristirahat, jika pembaca dapat menggunakan informasi nonvisualnya atau pengalamannya itu dengan sebaik-baiknya. Untuk mengatasi bacaan yang sulit, pembaca dapat mengurangi kecepatan bacanya dan mengasimilasikan informasi visual lebih banyak, sebab di antara mata dan otak itu ada bottleneck. Mengenai hal ini dapat dilukiskan melalui gambar berikut. Gambar ini memperlihatkan bagaimana dan sejauh mana otak dapat menampung informasi dari informasi visual yang tampak dalam materi cetak.
 <!--[if !vml]--><!--[endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]-->


Oval: Membaca

 

Otak itu mudah kewalahan oleh informasi visual sehingga kemampuan untuk melihat menjadi sangat terbatas bahkan bisa berhenti sejenak. Oleh karena itu, kemampuan dasar membaca tidak lain dari kemampuan menggunakan informasi nonvisual secara maksimum, dan mengurangi sebanyak-banyaknya informasi melalui mata.
Biasanya banyak orang beranggapan bahwa seseorang dapat melihat segala sesuatu yang ada didepan matanya, asalkan orang tersebut berada di tempat terang dengan mata terbuka. Bahkan kita juga berkeyakinan bahwa penglihatan itu bersifat langsung; kita melihat sesuatu seketika penglihatan kita terarah kepada sesuatu itu. Lebih dari itu, kita juga mengira bahwa matalah yang bekerja dan bertanggungjawab untuk benda-benda yang kita lihat itu. Namun sesungguhnya, mata kita sama sekali tidak melihat. Tugas mata tidak lebih dari sekedar menyerap informasi visual dalam bentuk berkas cahaya dan mengubahnya menjadi energi syaraf yang merambat melalui jutaan serabut syaraf optik, kemudian masuk ke dalam otak. Yang kita lihat sesungguhnya adalah interpretasi otak terhadap pesan, kesan, berita yang masuk melalui syaraf. Dengan kata lain, otaklah yang melihat, sedangkan mata hanyalah “memandang” atas perintah otak.
Otak, sudah tentu, tidak melihat segala sesuatu yang ada yang terjadi di depan mata. Oleh karena itu, seringkali otak itu pun berbuat salah atau bahkan dapat melihat sesuatu yang tidak berada di depan mata kita. Inilah yang disebut kegiatan “memprediksi”, kegiatan memperkirakan. Sebuah perkiraan, tentu saja bisa benar dan bisa juga salah. Hal inilah yang kemudian menjadi bahan kritikan para pakar yang tidak sependapat dengan pandangan MMAB.
Dengan kata lain, persepsi visual itu meluputi keputusan-keputusan yang terjadi dalam otak. Waktu kita melihat seekor kuda di seberang lapangan, otaklah yang menentukan yang kita lihat itu adalah kuda. Kita pun akan melihat kuda meski otak membuat kekeliruan. Jika kita diberi alamat oleh seseorang dengan tulisan seperti tertera di bawah ini :
JALAN MIOS IO
Yang kita lihat adalah dua kata: Jalan mios dan angka sepuluh. Padahal, jika kita teliti kembali lambang yang dipakai untuk menyatakan bilangan sepuluh itu sama benar dengan huruf yang menyatakan bunyi /I/ dan /O/. Informasi visual yang sama itu diinterpretasikan dalam otak sebagai lambang yang berbeda. Dengan demikian, jelaslah bahwa otak mempunyai peranan penting dalam kegiatan membaca. Thorndike berkata bahwa membaca adalah berfikir.
Banyak ahli berpendapat bahwa kegiatan membaca itu harus berdasarkan fonik. Bagi mereka, orang dapat membaca karena dimungkinkan oleh fonik. Bagaimana mungkin orang mengenali kata-kata tanpa menyuarakannya?
Terhadap pernyataan itu kita dapat memberikan jawaban bahwa kita mengenali kata-kata itu dengan cara yang sama dengan cara mengenali objek-objek lainnya, seperti pepohonan, binatang, awan, gunung, kapal terbang, mobil, kereta api, meja, kursi, nasi, roti, dan sebagainya, ialah dengan sekali pandang. Tidak ada perbedaan fundamental antara pengenalan terhadap objek-objek berdimensi tiga itu dengan pengenalan terhadap huruf-huruf dan kata-kata. Menurut hasil penelitian, orang merespon lebih cepat terhadap kata-kata tertulis kuning, merah, biru, hijau, hitam, dan sebagainya daripada kepada kertas yang diberi warna tersebut yang ditunjukkan kepadanya.
Makna lebih erat hubungannya dengan tulisan daripada dengan suara. Kata bang dan bank berbeda maknanya bukan karena berbeda bunyinya melainkan karena berbeda penampilannya. Kedua kata tersebut mendekod bunyi yang sama, tetapi artinya tetap berbeda, karena penulisannya berbeda.
Fonik itu tidak efektif. Lebih dari itu, tidak perlu. Hal tersebut dapat lebih jelas dibuktikan pada orang-orang Jepang atau Cina yang menggunakan logografik. Kata-kata tertulis itu merupakan lambang-lambang ide, bukan lambang-lambang bunyi. Orang Katon dan Mandarin yang berbeda tuturnya, masih dapat berkomunikasi dengan menggunakan tulisan, karena sistem tulisan mereka kebetulan sama. Kalau anda mendengar kalimat Deux et deux font quatre, dapatkah anda memahami maknanya? Ya, sebagian besar mungkin akan menjawab “tidak”. Mengapa sebagian besar dari kita tidak memahaminya? Hal ini disebabkan kita tidak memahami bunyi bahasa mereka, tidak pula memahami struktur kalimat yang mereka guanakan. Kalimat tersebut sebenarnya bisa diganti dengan lambang 2 + 2 = 4. Sekarang, tidak seorang pun di antara kita yang akan berkata “Saya tidak memahami artinya”. Dengan demikian, sekali lagi dapat kita buktikan bahwa kegiatan dekod itu tidak perlu.
Dalam model membaca yang menunjukkan gerak dari atas ke bawah  ini, atau membaca dari belakang, dikenal istilah tunnel vision, yakni peristiwa penyempitan pandangan. Jika sewaktu membaca, seseorang hanya dapat menggunakan dan memanfaatkan sebagian kecil saja informasi nonvisual, maka materi cetak yang dapat dilihatnya pun sedikit pula. Jika pembaca tidak dapat menggunakan informasi nonvisual itu sepenuhnya, maka penglihatannya akan sangat terbatas. Penglihatan yang sangat terbatas itu disebut tunnel vision. Tunnel vision bukanlah penyakit mata. Hal ini bisa terjadi, baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Gangguan tunnel vision (TV) ini pun tidak hanya terjadi pada kegiatan membaca, pada saat orang sedang membaca. Tunnel vision TV terjadi pada setiap situasi, yakni manakala otak dipaksa untuk memproses bahan dalam bentuk informasi yang nonvisual.
Kemampuan membaca bergantung pada kemampuan menggunakan informasi secara ekonomis dan pada penggunaan informasi nonvisual sebanyak-banyaknya. Namun, tunnel vision ini tampaknya tidak dapat dihindarkan dalam hal-hal berikut ini:
1)    Membaca sesuatu yang tidak bermakna akan menimbulkan TV. Jika pada waktu membaca, seorang tidak dapat membuat prakiraan yang biasa terjadi sebagai akibat dari materi bacaan yang tidak terpahami, maka pembaca akan mengalami hal yang sama, TV.
2)    Pembaca yang enggan memanfaatkan informasi nonvisual akan mengalami TV. Penggunaan infomasi nonvisual memang mengandung resiko. Pembaca selalu dihadapkan pada kemungkinan berbuat keliru. Akan tetapi, jika pembaca tidak melakukan kekeliruan dalam kegiatan membacanya, mungkin dia itu membaca tidak efisien, sebab dia membaca informasi visual lebih dari yang semestinya. Kekeliruan tidak perlu dikuatirkan dalam upaya membaca, asalkan pembaca untuk menggunakan informasi nonvisual yang semestinya. Kalau dalam bacaannya seseorang pembaca membaca rumah untuk kata asrama maka kesalahan seperti itu tidak perlu dikuatirkan.

Akibat terbesar yang disebabkan oleh keengganan terjadi bila keengganan itu timbul karena kecemasan. Dalam situasi yang mana pun dalam hidup kita semakin banyaklah informasi yang dia perlukan sebelum mengambil keputusan itu. Kecemasannya itu menimbulkan TV, dan TV menghilangkan kemungkinan pemahaman yang layak.
3)    Kebiasaan membaca yang jelek menimbulkan terjadinya TV. Jika pembaca membaca terlalu lambat akan menimbulkan TV, sebab system visual akan tertimbun oleh informasi visual yang diupayakan untuk diperolehnya dari materi bacaan. Jika pembaca enggan untuk membaca laju ke depan, jika dia mengulang-ulang bacaanya untuk mengingat hal-hal yang kecil-kecil, jika dia mencoba membaca cermat setiap kata dalam setiap untaian kalimat maka dia akan menghadapi TV. Sayang sekali, kebiasaan jelek itu merupakan bahan pengajaran untuk meyakinkan bahwa dengan jalan demikian anak akan padai membaca.
Dapatkah TV itu diatasi? Jika yang menjadi sebab terjadinya TV itu jelas, maka penyembuhannya mudah dilakukan. Jika TV pada anak timbul karena materi bacaanya tidak bermakna baginya, guru harus mencarikan bahan yang sesuai dengan tingkat kebutuahan muridnya. Rumus keterbacaan tidak dapat digunakan dalam hal ini, sebab masalahnya sangat relatif. Bacaan yang terasa mudah bagi seorang anak mungkin sama sekali tidak bisa diprakirakan oleh anak lainnya. Formula-formula keterbacaan yang biasa digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan wacana hanya sanggup mendeteksi kelayakan bahan bacaan tertentu untuk peringkat pembaca tertentu, dalam artian kelompok pembaca. Di samping itu, formula-formula keterbacaan hanya menangani masalah bahan bacaan, bukan pembacanya; sedangkan TV terjadi pada diri pembacanya. TV terjadi pada anak secara individual. Oleh karena itu, penanganannya pun harus didekati secara indivudual. Karena itulah, formula-formula keterbacaan tidak akan banyak menolong untuk mengatasi TV pada seseorang.
Jika TV itu timbul karena anak tidak mempunyi latar belakang pengalaman yang layak tentang isi bacaannya, maka guru dituntut untuk memberikan pengetahuan tentang hal-hal yang berhubungan dengan bacaanya itu. Caranya bermacam-macam, mungkin dengan jalan memberikan pengalaman dari buku lain yang mudah bagi anak, melaui film, ceramah, atau membacakan buku-buku yang ditugaskan kepada murid sebelum memulai pelajaran, dan sebagainya. Kemampuan membaca tidak semata-mata akan membaik dengan pemberian tugas yang bertubi-tubi. Terlebih-lebih jika materi bacaan yang ditugaskan tersebut dipandang sukar oleh siswa.
TV pada anak mungkin timbul karena perasaan takut berbuat salah. Jika anak dihinggapi perasaan takut, maka upaya untuk memahami bacaan melaui proses belajar tidak akan berhasil. Membuat prakiraan itu mempunyai risiko. Anak yang takut membuat kesalahan tidak akan dapat belajar, bahkan tidak pula akan dapat membaca seperti yang diharapkan. Anak-anak seperti itu harus diberi keyakinan bahwa "membuat kesalahan itu tidak perlu ditakuti", karena banyak orang yang berhasil karena justru mereka belajar dari kesalahan yang telah dilakukannya. Mereka harus belajar membebaskan diri dari sifat was-was dan ragu-ragu yang mengganggu pikirannya itu.
Anak-anak yang menghadapi TV karena kebiasaan membaca yang jelek harus dipaksa untuk berlatih membaca cepat. Mereka harus diyakinkan bahwa membaca lambat itu bisa menyelubungi makna bacaan. Berbagai penelitian menunjukkan bukti bahwa membaca cepat dipandang efisien dan mempermudah upaya memahami isi  bacaan. Banyak orang melambatkan bacaanya karena mereka takut tidak dapat memahami isi bacaan itu. Dengan kemampuan membaca cepat yang
lebih baik, maka pengetahuan yang diperolehnya pun akan semakin baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar