1. Tragedi pada Periode 1933-1942
Lahirnya Majalah Pujangga Baru, karena sekitar tahun 1920 dikenal majalah dan juga
memuat karangan-karangan berupa cerita, sajak serta karangan-karangan tentang sastra seperti majalah sri poestaka (
1919-1941 ), pandji poestaka (1919-1942), jong Sumatra (1920-1926), tetapi hingga awal tahun 1930-an niat para
pengarang untuk menerbitkan majalah khusus kebudayaan dan kesusastraan belum
juga terlaksana. Pada tahun 1930 terbit majalah Tim Hoel (1930-1933), mula- mula dalam bahasa belanda, kemudian pada tahun 1933
terbit juga edisi bahasa Indonesia dengan sanasi pane sebagai redaktur. Pada
tahun 1932 itu pula Sultan Takdir Alisjahbana yang ketika itu bekerja di balai
pustaka mengadakan rubrik “Menuju Kesusastraan Baru“ dalam majalah pandji
poestaka. Baru pada tahun 1933, Armijn Pane, Amir Hamzah dan Sultan Takdir
Alisjahbana berhasil mendirikan majalah poedjangga baroe (1933-1942 dan
1949-1953). Pada mulanya keterangan resmi tentang tentang majalah itu berbunyi
“Majalah Kesusastraan dan bahasa Serta Kebudayaan Umum“ tetapi sejak tahun 1935
berubah menjadi “Pembawa semangat baru dalam kesusastraan, seni, kebudayaan dan
soal masyarakat umum” dan sajak 1936 bunyinya berubah pula menjadi “Pembimbing
semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia”.
Majalah ini diperuntukkan guna menampung segala tenaga yang selama ini bercerai
berai memuatkan hasil-hasil karyanya di berbagai surat kabar dan majalah umum. Segera majalah
poedjangga baroe menjadi tempat berkumpul kaum budayawan, seniman dan
cendekiawan Indonesia pada masa itu. Berturut-turut dalam lingkungan majalah itu kita saksikan
munculnya nama-nama
Armijn Pane, Sultan Takdir Alisjahbana, Mr.Sumanang, Mr.Amir Syariffudin,
Mr.S.Muh.Sjah, Dr.Ng.Poerbatjaraka, W.J.S. Koerwadarmenta, H.B. Jassin sebagai
anggota redaksi. Majalah ini terbit dengan setia meskipun bukan tanpa
kesulitan, berkat pengorbanan dan keuletan Sultan Takdir Alisjahbana. Oplahnya
pernah hanya sekitar 500 eksemplar saja setiap terbit dan langganan yang
membayar tetap hanya sekitar 150 orang. Kerugian ditanggung oleh kantong Sultan
Takdir alisjahbana dan Armeyn Pane. Tetapi ketika Jepang masuk dengan menduduki
Indonesia, majalah poedjangga baroe ini segera dilarang terbit karena dianggap
“kebarat-baratan”. Tetapi setelah negara Indonesia merdeka, majalah ini tetap
diterbitkan kembali oleh Sultan Takdir Alisjahbana. Kelahiran majalah pujangga baru yang banyak melontarkan gagasan-gagasan baru dalam bidang kebudayaan itu bukan tidak
menimbulkan reaksi, tetapi menimbulkan berbagai reaksi. Polemik pujangga baru
dengan kaum tua itu tidak hanya mengenai bahasa saja, karena gerakan pujangga
baru bukanlah hanya gerakan bahasa dan sastra belaka, tetapi mengenai kebudayaan, pendidikan,
pandangan hidup kemasyarakatan terjadi polemik yang seru.
Gerakan
’80 suatu angkatan baru dalam sastra belanda timbul tahun 1880 sebagai
pengganti angkatan De Gids. Gerakan ini menciptakan prosa, puisi, kritik yang
bukan merupakan kelanjutan sastra sebelumnya.
2. Sifat Masyarakat Lama dan Masyarakat Baru
Pada hakikatnya kebudayaan (termasuk didalamnya sastra
dan seni) eksistensinya sama tuanya dengan manusia, dan ia terus berkembang seiring
dengan perkembangan masyarakat pendukung kebudayaan itu.
a. Sifat
masyarakat Lama
1) Masyarakat telah mengenal sistem pengetahuan tentang alam, binatang, musim,
teknologi, peralatan, meskipun cara berpikir mereka masih emosional (dikuasai
perasaan) dan kompleks. Adanya pengetahuan-pengetahuan tersebut memungkinkan
mereka dapat mengambangkan berbagai sektor kehidupan, seperti pertanian,
pelayanan, perdagangan, peternakan, dll.
2) Sistem religi menduduki tempat amat penting. Kepercayaan pada roh
(animisme) dan kekuatan-kekuatan gaib (dinamisme) meresapi seluruh kehidupan.
Dalam kehidupan masyarakat religi menjadi pusat dari segala aktivitas
kehidupan, segala sesuatu dimulai dengan religi dan upacara-upacaranya, agar
manusia mendapat rahmat kebaikan dari kekuatan-keuatan gaib itu.
3) Sistem kemasyarakatan pada masyarakat lama bertumpu pada sistem
wilayah desa, dengan sistem organisasi pemerintah yang demokratis, atas dasar
musyawarah dan mufakat yang dipimpin oleh kepala suku dan majelis orang-orang
tua dalam balai desa. Kewajiban pemerintah desa antara lain menjalankan adat
istiadat yang turun temurun dalam berbagai sektor kehidupan. Sistem dan nilai solidaritasnya (rasa
bersatu, kegotongroyongan, kerja sama) amat kuat. Individu terdesak. Ia terikat
dan tunduk pada aturan-aturan adat, religi dan masyarakatnya. Tapi nilai
solidaritas tersebut member rasa aman pada individu/anggota masyarakat. Di
samping itu, masyarakat lama memiliki sistem kekerabatan yang kuat pula, yaitu petrilineal, matrilineal,
dan parental, yang merupakan sumber norma-norma perbuaan yang baik dalam hal
pembentukan keluarga dan hal-hal yang berkaitan dengan itu (perkawinan,
kematian, harta, warisan, dll). Dalam melaksanakannya hokum adat dipegang
sekali. Adat (yang bersumber dan realisasi dari religi) ini menguasai kehidupan
manusia termasuk juga kehidupan seninya, sehingga kehidupan masyarakat lama
bersifat konservatif dan statis.
4) Kesenian sudah berkembang. Kesenian yang dikuasai oleh intuisi,
perasaan dan fantasi itu selalu berjalin dengan religi. Alat memanifestasikan
seni ialah bahasa (seni sastra) wayang dan lain-lain.
Bentuk seni sastra
itu antara lain: mitos atau mitologi yang isinya mengisahkan kejadian
bumi, melukiskan hubungan manusia dengan dewa-dewa, dunia gaib dan isi alam
sebagai proses kosmos. Bentuk-bentuk puisi seperti mantra, pantun dan bidal
mewarnai pula kebijaksanaan-kebijaksanaa lisan dalam sistem kehidupan
masyarakat. Pengucapan sasta itu disampaikan dengan bahasa indah, halus, dan
teliti serta berulang-ulang dalam upacara-upacara yang kadang-kadang disertai
tari dan nyanyi, karena kehidupan dan keselamatan manusia bergantung pada tenaga-tenaga gaib. Bentuk seni wayang juga
sudah berawal pada masa ini seperti Wayang Nini Towok dll. Dan dengan adanya
seni wayang tersebut maka seni-seni yang
lain berkembang pula seperti seni suara, instrumental, tari dan seni patung
yang berkembang seirama dengan perkembangan religi dalam kehidupan masyarakat.
b. Sifat
Masyarakat Baru
Pada masa ini masyarakat mulai membangun ilmu pengetahuan
dan semakin percaya akan kesanggupan ratio manusia mengetahuai rahasia alam dan
menguasainya. Pada masa Auflarung, resio memberi penenerangan dan mendatangkan masa kecerahan dalam hidup
manusia. Selanjutnya ditentukannya metode-metode dan giatnya penelitian oleh para pemikir,
telah memungkinkan tumbuh dan berkembangnya berbagai ilmu pengetahuan dan
teknologi. Peranan ilmu pengetahuan dan teknologi amat besar pengaruhnya dan
menentukan bagi kehidupan manusia pada zaman ini, karena
sejak abad ke-19 iptek telah memberikan sumbangan besar
pada kemajuan industri dan ekonomi bagi kesejahteraan hidup manusia dan mengubah keseluruhan
hidup masyarakat ke dalam kebudayaan modern. Kebudayaan modern ini diartikan
sebagai suatu kebudayaan yang mencerinkan pemikiran, perbuatan dan kreativitas
yang bersifat baru, yang ditandai oleh unsur-unsur pokoknya berupa sains dan teknologi maju
serta kehidupan kerohanian
yang memberi tanggung jawab dan solidaritas baru dan luas kepada
manusia.
Cendekiawan-cendikiawan
modern yang telah sadar dan membuka mata terhadap nasib dan penderitaan bangsanya
dijajah, kemudian tampil sebagai pemimpin-pemimpin bangsa yang memperoleh
pendidikan modern dan berkenalan dengan kebudayaan modern melalui
sekolah-sekolah Belanda. Mereka mendirikan organisasi-organisasi modern seperti
Budi Utomo, dll, untuk mendidik dan menyadarkan rakyat akan perasaan senasib
dan sepenanggungan.
Keadaan masyarakat baru atau modern Indonesia tercermin
dari karya-karya sastranya. Sastra Indonesia sebagai ekspresi yang bebas dari
para pengarangnya, mempersoalkan tema-tema kemanusiaan dan kehidupan masyarakat
yang aktual dalam ragamnya. Masalah-masalah emansipasi wanita, pergaulan kaum
intelektual dan kehidupan masyarakat kota tercermin dalam novel-novel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar