Jumat, 01 Maret 2013

MENGEMBANGKAN POKOK PERMASALAHAN



MENGEMBANGKAN POKOK PERMASALAHAN

(1).    Topik Tulisan    :  Kampanye Terbuka Partai Politik
         Tujuan                :  Menjelaskan Perilaku Partai Politik (Parpol) Masa Kampanye 2009
         Tesis                  :  Setelah Pengumuman Hasil Pemilu Memiliki Sejumlah Perilaku yang Menggelikan

Kampanye partai politik dalam bentuk rapat terbuka, kini sedang berjalan. Hingar-bingar politik progmatis di negeri ini mulai menggema. Sudah dua pekan pelaksanaan kampanye terbuka pemilu legislatif. Namun kelihatannya masyarakat belum antusias untuk menyambutnya. Masyarakat secara pasif masih disibukkan dengan berbagai kegiatan. Dalam memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, yang semakin hari sulit didapatkan. Karena, pengaruh krisis global yang begitu dasyat menggempar negeri ini. Memang kampanye pemilu legislatif kali ini tidak sama dengan kampanye pada pemilu yang lampau. Para juru kampanye tampil begitu memukau. Dengan mengumbar janji yang kadang melenceng dari realita.
Pada hal kampanye pemilu merupakan salah satu media pendidikan politik bagi rakyat. Dalam rangka menyampaikan isi pesan politik kepada publik. Implementasinya kerap terjadi gesekan-gesekan politik antar parpol atau caleg. Kenyataan empiris ini sebenarnya patut menjadi pegangan dan pedoman bagi parpol atau caleg. Dalam mensosialisasikan pelaksanaan kampanye yang beradab dan bercitra Indonesia. Kampanye yang elegan harusnya lebih memaknai sebagai sarana. Untuk mendekatkan diri kepada calon pemilih. Membumikan visi, misi dan program partainya. Bila nanti dipercaya sebagai wakil rakyat akan menepati janjinya.
Kita menyaksikan dilihat dari segi materi. Apa yang disampaikan oleh para juru kampanye adalah materi yang biasa-biasa saja. Yang mereka utamakan hanyalah mengenai masalah ekonomi. Di dalam kampanye apa yang dijanjikan peserta kampanye adalah hidup yang lebih sejahtera. Apakah itu realita ? Sama sekali kabur. Kita juga melihat bagaimana parpol menjual programnya kepada masyarakat. Dalam kampanye dikatakan bahwa kasus korupsi akan diberantas dan semua pelakunya akan ditindak. Ini jelas kampanye yang sangat aneh. Kalau memang berencana untuk menindak kasus korupsi, bukan dari parpol seharusnya muncul tindakan tersebut. Pengalaman kita selamanya ini banyak kader parpol yang terlihat kasus korupsi.
Jadi, yang penting adalah bahwa substansi dan aroma pendidikan politik bagi rakyat kelaknya kepermukaan. Namun, kita selalu menyaksikan kampanye yang dilakukan saat ini sedang digelar. Masih jauh dari etika dan budaya politik bangsa kita. Kesan yang timbul justru sebaliknya.
Banyak pelanggaran terjadi yang mewarnai kampanye pemilu. Kenyamanan publik sering terusik, misalnya kemacetan lalu-lintas. Yang ditimbulkan karena pawai dan arak-arakan peserta kampanye. Akibatnya masyarakat menjadi antipati terhadap partai dan caleg. Padahal kampanye selayaknya menjadi arena pembelajaran bagi masyarakat menjelang pencontrengan.
Dalam dimensi politk, kampanye yang tidak mencerminkan kesantunan, mengakibatkan rasa kontradiktif dengan calon pemilih. Karena kampanye yang saat ini sedang berlangsung. Komunikasi politik yang sebenarnya tercermin dalam paparan dan pentas kampanye. Juru kampanye dengan adu kekuatan, bukan adu konsep dan program. Kalaupun terdapat adu konsep dan program, kita masih meragukan keandalan dan daya efektifnya. Mengapa ?. Sebab yang terjadi justru mengarah pada kekuatan massa dalam suasana yang pro dan kontra. Pada hal yang dibutuhkan dalam kampanye pemilu adalah terjadinya proses komunikasi yang tidak hanya dialogis. Menembus batas-batas stratifikasi serta atmosfer kesenjangan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Persoalannya adalah bagaimana kampanye dapat menjadi prioritas yang fungsional bagi caleg. Dalam meraih simpatik calon pemilih.
Persoalan lain adalah mampukah kampanye pemilu kali ini dapat merubah sikap positif calon pemilihnya. Sehingga pada hari “H” pemilih legislatif partainya akan dipilih. Sudah barang tentu bahwa hakikat kampanye yang digelar partai politik ditunjukkan kepada masyarakat. Yang dapat dikelompokkan kedalam dua kelompok yaitu : yang pertama adalah kelompok yang sudah memahami pendidikan politik. Mereka ini pada umumnya tidak perlu diarahkan dalam menentukan pilihannya. Biasanya kelompok ini tidak terpengaruh kepada pidato dan retorika pada juru kampanye.
Kelompok kedua adalah kaum awam dan pemilih pemula. Biasanya kelompok ini belum memiliki pilihan politik dan bingung menentukan parpol/caleg selayaknya dipilih. Mereka ini pada umumnya, menjadi incaran empuk bagi para caleg untuk dapat meraih dan nembujuknya memilih dirinya.
Tentu saja, kesiapan masyarakat untuk mendukung dan memahami perilaku politik, caleg. Didasarkan kematangan politik untuk menentukan keberhasilan. Kampanye hanyalah satu cara dan pendekatan. Itu akan efektif bila para aktor dalam kampanye pemilu mematuhi aturan dan kesepakatan yang ditegakkan. (NOPENIUS ZAI).







(2).    Topik Tulisan    :  Mutu Berbahasa Indonesia Rendah
Tujuan                :  Menjelaskan Tanggapan Negatif Masyarakat Indonesia Terhadap Pemakaian Bahasa Indonesia.
Tesis                  :  Agar Bahasa Indonesia Digunakan Secara Efektif.

Mutu berbahasa Indonesia di masyarakat masih buruk atau rendah. Hal ini tercermin dari banyaknya ketidaktaatan pemanfaatan bahasa Indonesia sehari-hari. Padahal, berbahasa mencerminkan kecerdasan seseorang. Sejak era reformasi 1998, muncul era kebebasan. Banyak orang menyalahartikan kebebasan dengan menggunakan bahasa sebebasnya. Termasuk di tempat-tempat umum.
Sebagai contoh, maraknya pemakaian bahasa asing di ruang publik. Padahal, kata asing itu sudah mempunyai padanan kata dalam bahasa Indonesia. Misalnya, pemakaian kata trader center ketimbang pusat perbelanjaan. Arus globalisasi yang ditandai dengan masuknya barang impor, ikut memengaruhi pemilihan kata dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat kini gemar menyebut kata asing ketimbang padanannya dalam bahasa Indonesia. Contoh, sejumlah kata asing yang biasa digunakan dalam keseharian, yakni: bed cover, hanger, rice cooker, shooping, pen, sorry, dan computer.
Kondisi ini menunjukkan sebagian masyarakat menganggap tingkat bahasa Indonesia masih di bawah bahasa asing. Kalau kebanggan bahasa Indonesia sudah tinggi, pemakaian bahasa Indonesia akan diutamakan ketimbang bahasa asing. Kecuali bila belum ada padanan kata dalam bahasa Indonesia. Selain itu, ketidakpahaman akan tata kalimat membuat sejumlah karya ilmiah serta tulisan jurnalistik menjadi ruwet dan sulit dipahami. Pamakaian kata-kata yang tidak perlu, seringkali menghiasi ragam tulis itu.
Guru Besar Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Padang Atmazaki mengatakan, “Ada keprihatinan sebagian kalangan atas tidak digunakannya tata bahasa serta fungsi-fungsi komunikatifnya.” Kondisi ini menyebabkan tidak terlihatnya kecerdasan pemakaiannya. Seperti, terjadi dalam ceramah, pidato, moto yang terpampang di jalan; siaran radio, dan televisi; pengajaran di kelas, media cetak serta penggunaan bahasa Indonesia lainnya.
Pendidikan formal bisa berperan membentuk bahasa Indonesia sesuai dengan tata bahasa yang ada. Hanya saja, sebagian sekolah kini lebih berorientasi mengajarkan bahasa Indonesia dengan tujuan agar bisa mengerjakan soal Ujian Nasional (UN). Kalau ini terjadi secara terus menerus. Sekolah tidak ubahnya seperti bimbingan belajar yang membantu murid lulus ujian. Sekolah perlu berubah dengan memberikan porsi yang cukup. Untuk praktik berbahasa yang efektif. Sumber pendukung (Kompas (14/10-08) hal. 14) (Nopenius Zai).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar