MENGEMBANGKAN POKOK PERMASALAHAN
(1). Topik
Tulisan : Kampanye Terbuka Partai Politik
Tujuan : Menjelaskan Perilaku Partai Politik (Parpol) Masa Kampanye 2009
Tesis : Setelah Pengumuman Hasil Pemilu Memiliki Sejumlah Perilaku yang
Menggelikan
Kampanye partai politik dalam
bentuk rapat terbuka, kini sedang berjalan. Hingar-bingar politik progmatis di
negeri ini mulai menggema. Sudah dua pekan pelaksanaan kampanye terbuka pemilu
legislatif. Namun kelihatannya masyarakat belum antusias untuk menyambutnya.
Masyarakat secara pasif masih disibukkan dengan berbagai kegiatan. Dalam
memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, yang semakin hari sulit didapatkan. Karena,
pengaruh krisis global yang begitu dasyat menggempar negeri ini. Memang
kampanye pemilu legislatif kali ini tidak sama dengan kampanye pada pemilu yang
lampau. Para juru kampanye tampil begitu
memukau. Dengan mengumbar janji yang kadang melenceng dari realita.
Pada hal kampanye pemilu
merupakan salah satu media pendidikan politik bagi rakyat. Dalam rangka
menyampaikan isi pesan politik kepada publik. Implementasinya kerap terjadi
gesekan-gesekan politik antar parpol atau caleg. Kenyataan empiris ini
sebenarnya patut menjadi pegangan dan pedoman bagi parpol atau caleg. Dalam mensosialisasikan
pelaksanaan kampanye yang beradab dan bercitra Indonesia. Kampanye yang elegan
harusnya lebih memaknai sebagai sarana. Untuk mendekatkan diri kepada calon
pemilih. Membumikan visi, misi dan program partainya. Bila nanti dipercaya
sebagai wakil rakyat akan menepati janjinya.
Kita menyaksikan dilihat dari
segi materi. Apa yang disampaikan oleh para juru kampanye adalah materi yang
biasa-biasa saja. Yang mereka utamakan hanyalah mengenai masalah ekonomi. Di
dalam kampanye apa yang dijanjikan peserta kampanye adalah hidup yang lebih
sejahtera. Apakah itu realita ? Sama sekali kabur. Kita juga melihat bagaimana
parpol menjual programnya kepada masyarakat. Dalam kampanye dikatakan bahwa
kasus korupsi akan diberantas dan semua pelakunya akan ditindak. Ini jelas
kampanye yang sangat aneh. Kalau memang berencana untuk menindak kasus korupsi,
bukan dari parpol seharusnya muncul tindakan tersebut. Pengalaman kita
selamanya ini banyak kader parpol yang terlihat kasus korupsi.
Jadi, yang penting adalah
bahwa substansi dan aroma pendidikan politik bagi rakyat kelaknya kepermukaan.
Namun, kita selalu menyaksikan kampanye yang dilakukan saat ini sedang digelar.
Masih jauh dari etika dan budaya politik bangsa kita. Kesan yang timbul justru
sebaliknya.
Banyak pelanggaran terjadi
yang mewarnai kampanye pemilu. Kenyamanan publik sering terusik, misalnya
kemacetan lalu-lintas. Yang ditimbulkan karena pawai dan arak-arakan peserta
kampanye. Akibatnya masyarakat menjadi antipati terhadap partai dan caleg.
Padahal kampanye selayaknya menjadi arena pembelajaran bagi masyarakat
menjelang pencontrengan.
Dalam dimensi politk, kampanye
yang tidak mencerminkan kesantunan, mengakibatkan rasa kontradiktif dengan
calon pemilih. Karena kampanye yang saat ini sedang berlangsung. Komunikasi
politik yang sebenarnya tercermin dalam paparan dan pentas kampanye. Juru kampanye
dengan adu kekuatan, bukan adu konsep dan program. Kalaupun terdapat adu konsep
dan program, kita masih meragukan keandalan dan daya efektifnya. Mengapa ?. Sebab
yang terjadi justru mengarah pada kekuatan massa dalam suasana yang pro dan kontra. Pada
hal yang dibutuhkan dalam kampanye pemilu adalah terjadinya proses komunikasi
yang tidak hanya dialogis. Menembus batas-batas stratifikasi serta atmosfer
kesenjangan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Persoalannya adalah bagaimana
kampanye dapat menjadi prioritas yang fungsional bagi caleg. Dalam meraih
simpatik calon pemilih.
Persoalan lain adalah mampukah
kampanye pemilu kali ini dapat merubah sikap positif calon pemilihnya. Sehingga
pada hari “H” pemilih legislatif partainya akan dipilih. Sudah barang tentu
bahwa hakikat kampanye yang digelar partai politik ditunjukkan kepada
masyarakat. Yang dapat dikelompokkan kedalam dua kelompok yaitu : yang pertama
adalah kelompok yang sudah memahami pendidikan politik. Mereka ini pada umumnya
tidak perlu diarahkan dalam menentukan pilihannya. Biasanya kelompok ini tidak
terpengaruh kepada pidato dan retorika pada juru kampanye.
Kelompok kedua adalah kaum
awam dan pemilih pemula. Biasanya kelompok ini belum memiliki pilihan politik
dan bingung menentukan parpol/caleg selayaknya dipilih. Mereka ini pada
umumnya, menjadi incaran empuk bagi para caleg untuk dapat meraih dan
nembujuknya memilih dirinya.
Tentu saja, kesiapan
masyarakat untuk mendukung dan memahami perilaku politik, caleg. Didasarkan kematangan
politik untuk menentukan keberhasilan. Kampanye hanyalah satu cara dan
pendekatan. Itu akan efektif bila para aktor dalam kampanye pemilu mematuhi
aturan dan kesepakatan yang ditegakkan. (NOPENIUS ZAI).
(2). Topik Tulisan : Mutu Berbahasa Indonesia
Rendah
Tujuan : Menjelaskan Tanggapan Negatif Masyarakat Indonesia
Terhadap Pemakaian Bahasa Indonesia.
Tesis : Agar Bahasa Indonesia Digunakan Secara Efektif.
Mutu berbahasa Indonesia
di masyarakat masih buruk atau rendah. Hal ini tercermin dari banyaknya
ketidaktaatan pemanfaatan bahasa Indonesia sehari-hari. Padahal, berbahasa
mencerminkan kecerdasan seseorang. Sejak era reformasi 1998, muncul era
kebebasan. Banyak orang menyalahartikan kebebasan dengan menggunakan bahasa
sebebasnya. Termasuk di tempat-tempat umum.
Sebagai contoh, maraknya
pemakaian bahasa asing di ruang publik. Padahal, kata asing itu sudah mempunyai
padanan kata dalam bahasa Indonesia.
Misalnya, pemakaian kata trader center ketimbang
pusat perbelanjaan. Arus globalisasi yang ditandai dengan masuknya barang
impor, ikut memengaruhi pemilihan kata dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat
kini gemar menyebut kata asing ketimbang padanannya dalam bahasa Indonesia.
Contoh, sejumlah kata asing yang biasa digunakan dalam keseharian, yakni: bed cover, hanger, rice cooker, shooping,
pen, sorry, dan computer.
Kondisi ini menunjukkan
sebagian masyarakat menganggap tingkat bahasa Indonesia masih di bawah bahasa
asing. Kalau kebanggan bahasa Indonesia sudah tinggi, pemakaian bahasa
Indonesia akan diutamakan ketimbang bahasa asing. Kecuali bila belum ada
padanan kata dalam bahasa Indonesia.
Selain itu, ketidakpahaman akan tata kalimat membuat sejumlah karya ilmiah
serta tulisan jurnalistik menjadi ruwet dan sulit dipahami. Pamakaian kata-kata
yang tidak perlu, seringkali menghiasi ragam tulis itu.
Guru Besar Pendidikan Bahasa Indonesia
Universitas Negeri Padang Atmazaki mengatakan, “Ada keprihatinan sebagian kalangan atas tidak
digunakannya tata bahasa serta fungsi-fungsi komunikatifnya.” Kondisi ini
menyebabkan tidak terlihatnya kecerdasan pemakaiannya. Seperti, terjadi dalam
ceramah, pidato, moto yang terpampang di jalan; siaran radio, dan televisi;
pengajaran di kelas, media cetak serta penggunaan bahasa Indonesia lainnya.
Pendidikan formal bisa
berperan membentuk bahasa Indonesia sesuai dengan tata bahasa yang ada. Hanya
saja, sebagian sekolah kini lebih berorientasi mengajarkan bahasa Indonesia
dengan tujuan agar bisa mengerjakan soal Ujian Nasional (UN). Kalau ini terjadi
secara terus menerus. Sekolah tidak ubahnya seperti bimbingan belajar yang
membantu murid lulus ujian. Sekolah perlu berubah dengan memberikan porsi yang
cukup. Untuk praktik berbahasa yang efektif. Sumber pendukung (Kompas (14/10-08) hal. 14) (Nopenius Zai).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar