Jumat, 01 Maret 2013



JENIS MAKNA, RELASI MAKNA,
DAN
PERUBAHAN MAKNA





















 








Oleh,
Kamarudin Zai



Dosen Pengampu,
SINUFA GULÖ, S.Pd.


IKIP




INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(IKIP) GUNUNGSITOLI PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
 T A. 2010/2011
JENIS MAKNA

1.        Makna denotatif (referensial) ialah makna yang menunjukkan langsung pada acuan atau makna dasarnya.
Contoh:
merah : warna seperti warna darah.
ular : binatang menjalar, tidak berkaki, kulitnya bersisik.
2.          Makna konotatif (evaluasi) ialah makna tambahan terhadap makna dasarnya yang berupa nilai rasa atau gambar tertentu.
Contoh:
Makna dasar Makna tambahan
(denotasi) (konotasi)
merah : warna ………………………. berani; dilarang
ular : binatang ……………………..menakutkan/ berbahaya
Makna dasar beberapa kata misalnya: buruh, pekerjaan, pegawai, dan karyawan, memang sama, yaitu orang yang bekerja, tetapi nilai rasanya berbeda. Kata buruh dan pekerja bernilai rasa rendah/ kasar, sedangkan pegawai dan karyawan bernilai rasa tinggi.
Konotasi dapat dibedakan atas dua macam, yaitu konotasi positif dan konotasi negatif.
Contoh:
Konotasi positif Konotasi negatif
suami istri laki bini
tunanetra buta
pria laki-laki
Kata-kata yang bermakna denotatif tepat digunakan dalam karya ilmiah, sedangkan kata-kata yang bermakna konotatif wajar digunakan dalam karya sastra.

B.   Kata dan Istilah
Kata dalam bahasa Indonesia memang bisa dipahami sebagai sesuatu yang menjadi unsur pembentuk bahasa. Misalnya, ada kata: "miskin". Kata ini akan berarti, hanya jika kata ini digabungkan dengan kata lain atau dengan tanda bahasa yang mendukung.
Misalnya, "Oohh ... , miskin ya?" atau, "Miskin ...?" 
Pada kalimat pertama, kata miskin bisa berarti dua hal. Hal ini menunjukkan ungkapan ketidaktahuan seseorang tentang keadaan sebelumnya yang bersangkutan dengan pengertian "miskin" itu sendiri. Kedua, ungkapan yang bernada merendahkan dapat menjadi ungkapan seseorang yang berhadapan dengan keadaan seseorang yang memang "miskin".
Untuk kalimat kedua, kita akan mengerti kalau kata "miskin" di situ akan berarti pertanyaan. Juga bisa berarti ungkapan ketidakpercayaan.

Demikianlah, cara kita memahami "miskin" sebagai sebuah kata. Walaupun begitu, "miskin" juga bisa berarti istilah. Artinya, "miskin" diberikan pengertian yang bersifat khusus dan akan dipahami secara berbeda dalam bidang tertentu. Misalnya, dalam agama Islam, ada ungkapan: "Kemiskinan itu akan mendekatkan seseorang pada penolakan beragama".
Pun dalam agama Kristiani, khususnya kaum Protestan, memiliki keyakinan:
"Kemiskinan itu harus ditolak, karena kalau kita kaya di dunia ini, maka kita akan kaya pula di Surga". Tapi tidak begitu dalam agama Budhis. Ini tersirat dalam keyakinan:
"Dengan menjadi pengemis, maka seseorang akan mengerti makna kehidupan yang sebenarnya".
Masuk pada bidang sosial, politik, ekonomi, maupun budaya, "miskin" memiliki satu pengertian yang kompleks atau amat luas. Istilah ini dapat diartikan macam-macam, sesuai dengan "maksud", "tujuan", atau "kepentingan" yang ada dalam penggunaan "miskin" itu.
Misalnya, ketika ditetapkan Millenium Development Goals oleh masyarakat dunia, khususnya oleh PBB, "kemiskinan itu harus dapat diatasi pada tahun 2015" adalah slogan yang membawa dampak politis yang luar biasa. Masing-masing negara, tentunya akan membuat kebijakan ekonomi yang mengarah pada tujuan tersebut. Begitu juga para politisi akan memakai ini sebagai bagian dari kampanye.
Selain itu, hal ini juga beraspek budaya, karena "miskin" lalu dikaitkan dengan sikap hidup manusianya. Pun berhubungan dengan sosial, karena "miskin" tidak mungkin berada di luar konteks bermasyarakat. Dengan penjelasan yang serba sedikit, kita mungkin dapat membayangkan seperti apa bedanya kata dan istilah. Hal ini sebenarnya terletak pada bagaimana kita mengartikannya, atau bagaimana kita mendefinisikannya. Semakin teknis suatu kata didefinisikan, maka kata itu secara langsung akan menjadi istilah. Lalu, terkait dengan apa yang disebut dengan kalimat dan pernyataan, kita dapat membedakannya secara mudah sebenarnya. Misalnya dalam contoh di bawah ini.
1. "Adik makan nasi goreng sebelum berangkat sekolah."
2. "Adik itu makan nasi goreng sebelum berangkat sekolah."
Contoh 1 ini merupakan kalimat lengkap, karena ada S+P+O+K ("Adik" = Subjek + "makan" = Predikat + "nasi goreng" = Objek + "sebelum berangkat sekolah" = Keterangan).
Contoh 2 ini merupakan pernyataan, serta terdiri dari S+K+P ("Adik" = Subjek + "itu" = Kopula + "makan nasi goreng sebelum berangkat sekolah" = Predikat)
Dengan memperhatikan contoh tersebut, kita dapat mengenali bahwa kalimat dan pernyataan hanya berbeda tipis saja, yaitu dibedakan dengan kata "itu". Dalam bahasa Inggris, kata "itu" yang dimaksud sebenarnya adalah kata "is", yang artinya "adalah" itu sendiri. Secara lebih jauh, ciri yang membuat pernyataan itu dibedakan dari kalimat adalah sisi pengujiannya. Kalimat (1) di atas, tidaklah perlu diuji isinya benar ataupun tidak karena sudah memenuhi syarat kalimat lengkap. Sedangkan dalam pernyataan (2), hal ini perlu dibuktikan kembali apakah isinya benar atau salah, khususnya untuk fakta yang ada pada Predikat dari pernyataannya tersebut.



C. Konsep dan Asosiatif
            Perbedaan makna konseptual dan makna asosiatif didasarkan pada ada atau tidak adanya hubungan (asosiasi, refleksi) makna sebuah kata dengan makna kata lain. Secara garis besar Leech (1976) membedakan makna atas makna konseptual dan makna asosiatif, dalam makna asosiatif termasuk makna konotatif, stilistik, afektif, refleksi, dan kolokatif.
            Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apapun. Jadi, sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna referensial, makna leksikal dan makna denotatif. Sedangkan maknan asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa. Misalnya, kata ‘melati’ berasosiasi dengan makna ‘suci’, kata ‘merah’ berasosiasi dengan ‘berani’ atau juga dengan golongan ‘komunis’, dan kata ‘cendrawasih’ berasosiasi dengan makna ‘indah’.

D.   Idiomatik dan Peribahasa
Makna Idiomatik dan pribahasa adalah makna yang dapat dibedakan berdasarkan bisa atau tidaknya diramalkan atau ditelusuri, sebelum kita menjelaskan idiomatikal kita perlu mengetahui dulu apa yang dimaksud dengan idiom. Idiom adalah satuan ujuran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya, baik secra leksikal maupun gramatikal.
Idiom dibedakan menjadi dua yaitu, idiom penuh dan idiom sebagaian. Idiom penuh adalah idiom yang semua unsurnya sudah melebur menjadi satu kesatuan sehingga makna yang dimiliki berasal dari seluruh kesatuan itu. Contohnya: banting tulang artinya ’bekerja keras’, meja hijau artinya ’pengadilan’. Sedangkan idiom sebagian adalah idiom yang salah satu unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri. Contoh: daftar hitam artinya ’daftar yang berisi nama-nama orang yang dicurigai atau dianggap bersalah’.
Makna peribahasa adalah makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya asosiasi antara makna asli dengan makna sebagai peribahasa. Contohnya besar pasak dari pada tiang artinya ‘besar pengeluaran dari pada pendapatan’. Makna pribahasa ini bersifat memperbandingkan atau mengumpamakan, maka bisanya juga disebut dengan nama perumpamaan. Kata yang sering digunakan dalam pribahasa yaitu kata seperti, bagai, bak, laksana, umpama, tetapi ada juga peribahasa yang tidak menggunakan kata-kata tersebut namun kesan peribahasanya tetap tampak.

E.   Makna Kias
Makna Kias adalah makna Kata atau leksem yang tidak memiliki arti sebenarnya, yaitu oposisi dari makna sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, konseptual, denotatip) disebut arti kiasan Contohnya: putri malam artinya bulan, raja siang artinya matahari.


RELASI MAKNA


A.   Prinsip Relasi Makna
            Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa dengan satuan bahasa lainnya. Satuan bahasa ini dapat berupa kata, frase, kalimat, dan relasi semantik itu dapat menyatakan kesamaan makna, pertentangan, ketercakupan, kegandaan atau kelebihan makna.
Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya lagi.Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna (sinonimi), kebalikan makna (antonym), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponim), kelebihan makna (redundansi), dan sebagainya. Berikut ini akan dibicarakan masalah tersebut satu per satu.

B.   Jenis Relasi Makna

1.   Sinonim
Secara etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu anoma yang berarti ‘nama’, dan syn yang berarti ‘dengan’. Maka secara harfiah kata sinonimi berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’.Secara semantik Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Umpamanya kata buruk dan jelek adalah dua buah kata yang bersinonim ;bunga, kembang, dan puspa adalah tiga buah kata yang bersinonom; mati, wafat, meninggal, dan mampus adalah empat buah kata yang bersinonim.
Menurut teori Verhaar yang sama tentu adalah informasinya ; padahal informasi ini bukan makna karena informasi bersifat ekstralingual sedangkan makna bersifat intralingual. Atau kalau kita mengikuti teori analisis komponen yang sama adalah bagian atau unsur tertentu saja dari makna itu yang sama. Misalnya kata mati dan meninggal. Kata mati nemiliki komponen makna : tidak bernyawa, dapat dikenakan terhadap apa saja (manusia, binatang, pohon). Sedangkan meninggal memiliki komponen makna : tidak bernyawa, hanya dikenakan pada manusia. Maka dengan demikian kata mati dan meninggal hanya bersinonim pada komponen makna tidak bernyawa. Kerena itu, jelas bagi kita kalau Ali, kucing, dan pohon bisa mati; tetapi yang bisa meninggal hanya Ali. Sedangkan kucing dan pohon tidak bisa.
Ketidak mungkinan kita untuk menukar sebuah kata dengan kata lain yang bersinonim adalah banyak sebabnya, Antara lain,karena ;
Ø      Faktor waktu. Misalnya kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan. Namun, keduanya tidak mudah dipertukarkan karena kata hulubalang hanya cocok untuk situasi kuno, klasik, atau arkais. Sedangkan kata komandan hanya cocok untuk situasi masa kini (modern)
Ø      Faktor tempat atau daerah. Misalnya kata saya dan beta adalah bersinonim. Tetapi kata beta hanya cocok untuk digunakan dalan konteks pemakaian bahasa Indonesia timur (Maluku) ; sedangkan kata saya dapat digunakan secara umum di mana saja.
Ø      Faktor Sosial. Misalnya kata aku dan saya adalah dua buah kata yang bersinonim; tetapi kata aku hanya dapat digunakan untuk teman sebaya yang tidak dapat digunakan kepada orang yang lebih tua atau yang status sosialnya lebih tinggi.
Ø      Faktor bidang kegiatan. Misalnya kata tasawuf, kebatinan, dan mistik adalah tiga buah kata yang bersinonim. Namun kata tasawuf hanya lazim dalam agama Islam; kata kebatinan untuk yang bukan islam; dan kata mistik untuk semua agama.
Ø      Faktor nuansa makna. Misalnya kata-kata melihat, melirik, melotot, meninjau, dan mengintip adalah kata-kata yang bersinonim. Kata melihat memang bisa digunakan secara umum; tetapi kata melirik hanya digunakan untuk menyatakan melihat dengan sudut mata; kata melotot hanya digunakan untuk melihat dengan mata terbuka lebar: kata meninjau hanya digunakan untuk melihat dari tempat jauh atau tempat tinggi; dan kata mengintip hanya cocok digunakan untuk melihat dari celah yang sempit.
Dalam beberapa buku pelajaran bahasa sering dikatakan bahwa sinonim adalah persamaan kata atau kata-kata yang sama maknanya. Pernyataan ini jelas kurang tepat sebab selain yang sama bukan maknanya, yang bersinonim pun bukan hanya kata, tetapi juga banyak terjadiantara satuan-satuan bahasa lainnya. Perhatikan contoh berikut!
a)      Sinonim antar morfem (bebas) dengan morfem terikat, seperti antara dia dengan nya, antara saya dengan ku dalam kalimat
                                 i.            Minta bantuan dia
                               ii.            Minta bantuannya
                              iii.            Bukan teman saya
                             iv.            Bukan temanku
b)      Sinonim antar kata dengan kata seperti antara mati dengan meninggal: antara buruk dengan jelek.
c)      Sinoninm antara kata dengan frase atau sebaliknya. Misalnya antara meninggal dengan tutup usia:antara hamil dengan duduk perut.
d)      Sinonim antara frase dengan frase. Misalnya, antara ayah ibu dengan orang tua; antara meninggal dunia dengan pulang ke rahmatullah.
e)      Sinonim antara kalimat dengan kalimat, seperti Adik menendang bola dengan Bola ditendang adik. Kedua kalimat tersebut dianggap bersinonim, yang pertama kalimat aktif dan yang kedua lalimat pasif.
Mengenai sinonim ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama tidak semuakata dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonim. Misalnya kata beras, salju, batu dan kuning. Kedua ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak pada bentuk jadian. Misalnya kata benar bersinonim dengan kata betul; tetapi kata kebenaran tidak bersinonim dengan kata kebetulan. Ketiga, ada kata-kata yang tidak mempunyai sinonim pada bentuk dasar tetapi memiliki sinonim pada bentuk jadian. Misalnya kata jemur tidak mempunyai sinonim tetapi kata menjemur ada sinonimnya, yaitu mengeringkan; dan berjemur bersinonim dengan berpanas. Keempat ada kata-kata yang dalam arti “sebenarnya” tidak mempunyai sinonim, tetapi dalam arti “kiasan” justru mempunyai sinonim. Misalnya kata hitam dalam makna “sebenarnya” tidak ada sinonimnya, tetapi dalam arti “kiasan” ada sinonimnya yaitu gelap, mesum, buruk, jahat dan tidak menentu.

2. Antonim dan Oposisi
Kata antonimi berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang artinya ‘nama’ dan anti yang artinya ‘melawan’. Maka secara harfiah maka antonim berarti ‘nama lain untuk benda lain pula’. Secara semantik, Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai: Ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makan ungkapan lain. Misalnya kata bagus adalah berantonim dengan kata buruk; kata besar berantonim dengan kata kecil.
Sama halnya dengan sinonim, antonimpun terdapat pada semua tataran bahasa: tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat. Dalam bahasa Indonesia untuk tataran morfem (terikat) barangkali tidak ada; dalam bahasa Inggaris kita jumpai contoh thankful dengan thankless, dimana ful dan less berantonim; antara progresif dengan regresif, dimana fro dan re berantonim.
Berdasarkan sifatnya, oposisi dapat dibedakan menjadi:
Ø      Oposisi Mutlak. Di sini terdapat pertentangan makna secara mutlak. Umpamanya antara kata hidup dan mati. Antara hidup dan mati terdapat batas yang mutlak, sebab sesuatu yang hidup tentu tidak (belum) mati; sedangkan sesuatu yang mati tentu sudah tidak hidup lagi.
Ø      Oposisi Kutub. Makna kata-kata yang termasuk oposisi kutub ini pertentangannya tidak bersifat mutlak, melainkan bersifat gradasi. Artinya terdapat tingkat-tingkat makna pada kata-kata tersebut, misalnya, kata kaya dan miskin adalah dua buah kata yang beroposisi kutub. Pertentangan antara kaya dan miskain tidak mutlak orang yang tidak kaya belum tentu meras miskin, dan begitu juga orang yang tidak miskin belum tentu merasa kaya. Kata-kata yang beroposisi kutub ini umumnya adalah kata-kata dari kelas adjektif, seperti jauh-dekat, panjang-pendek, tinggi-rendah, terang-gelap, dan luas-sempit.
Ø      Oposisi Hubungan. Makna kata yang beroposisi hubungan (relasional) ini bersifat saling melengkapi. Artinya, kehadiran kata yang satu karena ada kata yang lain yang menjadi oposisinya. Tanpa kehadiran keduanya maka oposisi ini tidak ada. Umpamanya kata menjual beroposisi dengan kata membeli. Kata menjual dan membeli walaupun maknanya berlawanan, tetapi proses kejadiannya berlaku serempak.proses menjual dan proses membeli terjadi pada waktu yang bersamaan, sehingga bisa dikatakan tak akan ada proses menjual jika tak ada proses membeli. Kata-kata yang beroposisi hubungan ini bisa berupa kata kerja seperti mundur-maju, pulang-pergi, pasang-surut, memberi-menerima, belajar- mengajar, dan sebagainaya. Selain itu, bisa pula berupa kata benda, seperti ayah- ibu, guru-murid, atas-bawah, utara-selatan, buruh-majikan, dan sebagainya.
Ø      Oposisi Hierarki. Makna kata-kata yang beroposisi hierarkial ini mengatakan suatu deret jenjeng atau tingkatan. Oleh karena itu kata-kata yang beropossisi hierarkial ini adalah kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (berat, panjang, dan isi), nama satuan hitungan dan penanggalan, nama jenjang kepangkatan, dan sebagainya. Umpamanya kata meter beroposisi hierarkial dengan kata kilometer karena berada dalam deretan nama satuan yang menyatakan ukuran panjang. Kata kuintal dan ton beroposisi secara hierarkial karena keduanya berada dalam satuan ukuran yang menyatakan berat.
Ø      Oposisi Majemuk. Selama ini yang dibicarakan adalah oposisi diantara dua buah kata, seperti mati-hidup, menjual-membeli, jauh-dekat, prajurit-opsir. Namun, dalam pembedaharaan kata Indonesia ada kata-kata yang beroposisi terhadap lebih dari sebuah kata.Misalnya kata berdiri bisa beroposisi dengan kata duduk, dengan kata berbaring, dengan kata berjongkok. Keadaan seperti ini lazim disebut dengan kata istilah oposisi majemuk. Contoh lain, kata diam yang dapat beroposisi dengan kata berbicara, bergerak, dan bekerja.

3.   Homonimi, Homofoni, Homograf
Kata homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onoma yang artinya ‘nama’ dan homo yang artinya ‘sama’. Secara rafia homonimi dapat diartikan sebagi “nama sama untuk benda atau hal lain”. Secara semantik, Verhaar (1978) memberi definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frasa atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frasa atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama. Hubungan antara dua buah kata yang homonim bersifat dua arah.
Hal-hal yang menyebabkan terjadinya bentuk-bentuk homonimi, yaitu:
1.      bentuk-bentuk yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau diales yang berlainan.
2.      bentuk-bentuk yang bersinonimi itu terjadi sebagai hasil proses morfologi.
Hominimi dan sinonimi dapat terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.
·        Homonimi antar morfem, tentunya terjadi antara sebuah morfem terikat dengan morfem terikat lainnya.
·        Homonimi antar kata, terjadi antara sebuah kata dengan kata lainnya. Misalnya antara kata bisa yang berarti ‘racun ular’ dan kata bisa yang berarti ‘sanggup, atau dapat’.
·        Homonimi antar frase, misalnya antara frase cinta anak yang berarti ‘perasaan cinta dari seorang anak lepada ibunya’ dan frase cinta anak yang berarti ‘cinta lepada anak dari seorang ibu’.
·        Homonimi antar kalimat, misalnya antara Istri lurah yang baru itu cantik yang berarti ‘lurah yang baru diangkat itu mempunyai istri yang cantik’, atau ‘lurah itu baru menikah lagi dengan seorang wanita yang cantik’.
Disamping homonimi ada pula istilah homofoni dan homogfari. Homofoni dilihat dari segi “bunyi” (homo=sama, fon=bunyi), sedangkan homografi dilihat dari segi “tulisan, ejaan” (homo=sama, grafo=tulisan). Homofoni sebetulnya sama saja dengan homonimi karena realisasi bentuk-bentuk bahasa adalah berupa bunyi. Namun, dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang homofon tetapi ditulis dengan ejan yang berbeda karena ingin memperjelas perbedaan makna.

4.   Hiponimi dan Hipernimi
Kata hiponimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti ‘nama’ dan hypo berarti “di bawah’. Jadi secara harfiah berarti ‘nama yang termasuk di bawah nama lain’. Secara semantik, Verhaar (1978: 137) menyatakan hiponim ahíla ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satu ungkapan lain. Kalau relasi antara dua buah kata yang bersinonim, berantonim, dan berhomonim bersifat dua arah, maka relasi anatar dua buah kata yang berhiponim ini adalah searah.
Konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan adanya kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata yang berada di bawah makna kata lainnya. Karena itu, ada kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernimi terhadap sejumlah kata lain, akan menjadi hiponim terhadap kata lain yang hierarkial berada di atasnya. Konsep hiponimi dan hipernimi mudah diterapkan pada kata benda tapi agak sukar pada kata verja atau kata sifat.

5.    Polisemi
Polisemi lazim diartiakn sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu. Umpamanya, kata kepala dalam bahasa Indonesia memiliki enam makna. Namur, makna –makna yang banyak dari sebuah kata yang polisemi itu masih ada sangkutpautnya dengan makna asal, karena dijabarkan dari komponen makna yang ada pada makna asal kata tersebut.
Persoalan lain yang berkenaan dengan polisemi ini adalah bagaimana kita bisa membedakannya dengan bentuk-bentuk yang disebut homonimi. Perbedaannya yang jelas adalah bahwa homonimi bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata aatu lebih yang kebetulan bentuknya sama. Tentu saja karena homonimi ini bukan sebuah kata, maka maknanya pun berbeda.
Di dalam kamus bentuk-bentuk yang homonimi didaftarkan sebagi entri-entri yang berbeda. Sebaliknya bentuk-bentuk polisemi adalah sebuah kata yang memiliki makna lebih dari satu. Karena polisemi ini adalah sebuah kata maka di dalam kamus didaftarkan sebagai sebuah entri. Satu lagi perbedaan antara homonimi dan polisemi, yaitu makna-makan pada bentuk homonimi tidak ada kaitan atau hubungannya sama sekali antara yang satu dengan yang lainnya.

6.    Ambiguitas
Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Konsep ini tidak salah, tetapi juga kurang tepat sebab tidak dapat dibedakan dengan polisemi. Polisemi dan ambiguitas memang sama-sama bermakna ganda. Hanya kalau kegandaan makna dalam polisemi berasal dari kata, sedangkan kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat, dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. Dalam bahasa lisan penafsiran ganda ini mungkin tidak akan terjadi karena struktur gramatical itu dibantu oleh unsur intonasi.
Perbedaan antara ambiguitas dan homonimi adalah homonimi dilihat sebagai dua bentuk yang kebetulan sama dan dengan makna yang berbeda, sedangkan ambiguitas adalah sebuah bentuk dengan makna yang berbeda sebagai akibat dari berbedanya penafsiran struktur gramatikal bentuk tersebut. Lagi pula ambiguitas hanya terjadi pada satuan frase dan kalimat sedangkan homonimi dapat terjadi pada semua satuan gramatikal.

7.    Redudansi
Istilah redudansi sering diartikan sebagai ‘berlebih-lebihan pemakaian unsur segmental dalam statu bentuk ujaran. Secara semantik masalah redudansi sebetulnya tidak ada, sebab salah satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda. Makna adalah statu fenomena dalam ujaran (utterance, internal phenomenon) sedangkan informasi adalah sesuatu yang luar ujaran (utterance-external).

PERUBAHAN MAKNA

Secara sinkronis makna sebuah kata tidak akan berubah, maka secara diakronis ada kemungkinan bisa berubah. Jadi, sebuah kata yang pada suatu waktu dulu bermakna ‘A’ misalnya, maka pada waktu sekarang bisa bermakna ‘ B’, dan pada suatu waktu kelak mungkin bermakna ‘C’ atau bermakna ‘D’. Sebagai contoh kita lihat kata sastra yang paling tidak telah tiga kali mengalami perubahan makna. Pada mulanya kata satra ini bermakna tulisan atau huruf; lalu berubah menjadi bermakna buku; kemudian berubah lagi menjadi bermakna buku yang baik isinya dan baik bahasanya; dan sekarang yang disebut karya satra adalah karya yang bersifat imaginatifkreatif.
Pernyataan bahwa makna sebuah kata secara sinkronis dapat berubah menyiratkan pula pengertian bahwa setiap kata maknanya harus atau akan berubah secara diakronis. Banyak kata yang maknanya sejak dulu sampai sekarang tidak berubah. Malah jumlahnya mungkin lebih banyak daripada yang berubah atau pernah berubah.

A.    Sebab-sebab Perubahan Makna
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan makna sebuah kata. Di antaranya adalah :

1.      Perkembangan Dalam Ilmu dan Teknologi
Adanya perkembangan konsep keilmuan dan teknologi dapat menyebabkan sebuah kata yang pada mulanya bermakna A menjadi bermakna B atau C. Umpamanya, kata sastra pada mulanya bermakna ‘tulisan, huruf, lalu berubah menjadi makna ‘bacaan’ ; kemudian berubah lagi menjadi bermakna ‘buku yang baik isinya dan baik pula bahasanya’. Selanjutnya, berkembang lagi menjadi ‘karya bahasa yang bersifat imaginatif dan kreatif. Perubahan makna sastra seperti yang disebutkan tadi adalah karena berkembangnya atau berubahnya konsep tentang sastra di dalam ilmu sastra. Begitu juga dalam bidang teknologi, misalnya dulu kapal-kapal menggunakan layar untuk dapat bergerak. Oleh karena itu muncullah istilah berlayar dengan makna ‘melakukan perjalanan dengan kapal atau perahu yang digerakkan tenaga angin’. Namun meskipun tenaga penggerak kapal sudah diganti dengan mesin uap, turbo, diesel, tetapi kata berlayar masih tetap digunakan untuk menyebut perjalanan di air itu.

2.      Perkembangan Sosial dan Budaya
Perkembangan dalam masyarakat berkenaan dengan sikap sosial dan budaya.  Juga menyebabkan terjadinya perubahan makna. Kata saudara, misalnya, pada  mulanya berarti seperut, atau orang yang lahir dari kandungan yang sama. Tetapi kini, kata saudara digunakan juga untuk menyebut orang lain. Sebagai  kata sapaan, yang diperkirakan sederajat, baik usia maupun kedudukan sosial. Contoh lain, kata sarjana dulu hanya bermakna ‘orang cerdik pandai’ tetapi kini kata sarjana itu hanya bermakna ‘orang yang lulus dari perguruan tinggi’.
3.      Perbedaan Bidang Pemakaian
Setiap bidang kegiatan atau keilmuan biasanya mempunyai sejumlah kosa kata yang berkenaan dengan bidangnya itu. Umpamanya, dalam bidang pertanian kita temukan kosa kata seperti menggarap, menuai, pupuk, hama dan panen; dalam bidang agama islam ada kosa kata seperti iman, khatib, puasa, zakat, dan subuh; dan dalam bidang pelayaran ada kosa kata seperti berlabuh, berlayar, haluan nakhoda, dan buritan. Kosa kata yang pada mulanya hanya digunakan pada bidang-bidangnya itu dalam perkembangan kemudian digunakan juga dalam bidang-bidang lain, dengan makna baru atauagak lain dengan makna aslinya. Umpamanya, kata menggarap dari bidang pertanian digunakan juga dalam bidang lain, seperti dalam menggarap skripsi, menggarap naskah drama, dan menggarap rancangan undang-undang lalu lintas. Kata membajak yang berasal dari bidang pertanian juga, sudah bisa kini digunakan dalam bidang lain, seperti dalam membajak buku, membajak pesawat terbang. Contoh lain, kata jurusan yang berasal dari bidang lalu lintas kini digunakan juga dalam bidang pendidikan, seperti dalam jurusan bahasa asing, jurusan hukum perdata, dan lain-lain.

4.      Adanya Asosiasi
Maksudnya adalah adanya hubungan antara sebuah bentuk ujaran dengan sesuatu yang lain berkenaan dengan bentuk ujaran itu, sehingga dengan demikian bila disebut ujaran itu maka yang dimaksud adalah sesuatu yang lain yang berkenaan dengan ujaran itu.
 Contoh :
“Supaya urusan cepat beres, beri saja amplop”.
Makna amplop sebenarnya adalah ‘sampul surat’. Akan tetapi dalam kalmat di  atas, amplop itu bermakna ‘uang sogok’. Berarti kata amplop dalam kalimat itu berasosiasi dengan uang sogok.

5.      Adanaya Tanggapan Indera
Alat indra kita yang lima mempunyai fungsi masing-masing untuk menangkap gejala-gejala yang terjadi di dunia ini. Misalnya rasa perasa panas, asin dan getir ditangkap dengan alat indra perasa, yaitu lidah; gejala yang berkenaan dengan bunyi ditangkap dengan alat indra pendengar telinga, dan gejala terang dan gelap ditangkap dengan alat indra mata. Namun, dalam perkembangan pemakaian bahasa tampak terjadi pertukaran pemakaian alat indra untuk menangkap gejala yang terjadi di sekitar manusia itu. Misalnya, rasa pedas yang seharusnya ditangkap oleh alat indra perasa lidah menjadi ditanggap oleh alat pendengar telinga, seperti dalam ujaran kata-katanya sangat pedas; kata manis yang seharusnya ditanggap dengan perasa lidah menjadi ditanggap dengan alat indra mata, seperti dalam ujaran bentuknya sangat manis.

6.      Perbedaan Tanggapan
Setiap unsur leksikal atau kata sebenarnya secara sinkronis telah mempunyai makna leksikal yang tetap. Namun karena pandangan hidup dan ukuran dalam norma kehidupan di dalam masyarakat, maka banyak kata yang menjadi memiliki nilai rasa yang “rendah”, kurang menyenangkan. Di samping itu ada juga yang menjadi memiliki nilai rasa yang “tinggi” atau yang mengenakan. Kata-kata yang nilainya merosot menjadi rendah lazim disebut peyoratif, sedangkan yang nilainya naik menjadi tinggi disebut amelioratif. Contohnya, kata bini dewasa ini dianggap peyoratif, sedangkan kata istri dianggap amelioratif. Kata laki dianggap peyoratif berbeda dengan suami yang dianggap amelioratif. Kata bang dianggap peyoratif sebaliknya kata bung dianggap amelioratif.
Apakah nilai rasa peyoratif dan amelioratif sebuah kata bersifat tetap? Tentu saja tidak. Nilai rasa itu kemungkinan besar Cuma bersifat sinkronis. Secara diakronis ada kemungkinan bisa berubah. Sebagai contoh, kata jamban dulu dianggap bersifat peyoratif dan orang menggantinya dengan kata kaskus atau W.C. Tetapi dewasa ini kata jamban itu telah kehilangan sifat peyoratifnya karena pemerintah DKI secara resmi menggunakan lagi kata itu sebagai istilah baku seperti dalam frase jamban keluarga.

7.      Adanya Penyingkatan
Dalam Bahasa Indonesia ada sejumlah kata atau ungkapan yang karena sering digunakan, maka kemudian tanpa diucapkan atau dituliskan secara keseluruhan orang sudah mengerti maksudnya. Oleh karena itu, maka kemudian orang lebih banyak menggunakan singkatan saja daripada bentuk utuhnya. Misalnya, kalau dikatakan Ayahnya meninggal tentu maksudnya adalah meninggal dunia. Jadi, meninggal adalah bentuk singkatan dari ungkapan meninggal dunia. Contoh lain kalau dikatakan ke Surabaya dengan garuda tentu maksudnya adalah “naik pesawat terbang dari perusahaan penerbangan garuda”. Di beberapa sekolah kata perpus sudah lazim digunakan untuk menyebut perpustakaan, dan kata lab untuk mengganti kata laboratorium. Termasuk juga kata kata yang di singkat seperti dok maksudnya dokter, lok maksudnya lokomotif, satpam maksudnya satuan pengamanan, tilang untuk bukti pelanggaran, dan hankam untuk pertahanan keamanan.
Kalau disimak sebetulnya dalam kasus peyingkatan ini bukanlah peristiwa peubahan makna yang terjadi sebab makna atau konsep itu tetap. Yang terjadi adalah perubahan bentuk kata. Kata yang semula berbentuk utuh disingkat menjadi bentuk tidak utuh yang pendek. Malah gejala penyingkatan ini bisa terjadi juga pada bentuk-bentuk yang sudah dipendekan seperti AMD adalah kependekan dari Abri Masuk Desa, dan Abri itu sendiri adalah kependekan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

8.      Proses Gramatikal
Proses gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi, dan komposisi (penggabungan kata) akan menyebabkan pula terjadinya perubahan makna. Tetapi dalam hal ini yang terjadi sebenarnya bukan perubahan makna, sebab bentuk kata itu sudah berubah sebagai hasil proses gramatikal. Jadi, tidaklah dapat dikatakan kalau dalam hal ini telah terjadi perubahan makna, sebab yang terjadi adalah proses gramatikal, dan proses gramatikal itu telah “melahirkan” makna-makna gramatikal.


9.      Pengembangan Istilah
Salah satu upaya dalam pengembangan atau pembentukan istilah baru adalah dengan memanfaatkan kosakata bahasa Indonesia yang ada dengan jalan memberi makna baru, entah dengan menyempitkan makna kata tersebut, meluaskan, maupun memberi arti baru sama sekali. Misalnya kata papan yang semula bermakna ‘lempengan kayu’ (besi,dsb)tipis , kini diangkat menjadi istilah untuk makna ‘perumahan’, kata sandang yang semula bermakna ‘selendang’ kini diangkat menjadi istilah untuk makna ‘pakaian’, dan kata teras yang semula bermakna ‘inti kayu’ atau ‘saripati kayu’ kini diangkat menjadi unsur pembentuk istilah untuk makna ‘utama’ atau ‘pimpinan’.
Contoh lain, perubahan makna sebagai akibat usaha dalam pembentukan istilah seperti kata-kata canggih, gaya, tapak, paket, menayangkan dan menggalakkan.



JENIS-JENIS PERUBAHAN MAKNA
A.     Meluas
Perubahan makna yang meluas, menurut Chaer (1995), Pateda (1986), ialah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem yang pada mulanya hanya memiliki sebuah ‘makna’ telah menjadikan makna tersebut meluas karena berbagai-bagai faktor. Perlu diperhatikan bahwa makna yang terjadi sebagai hasil perluasan itu masih berada dalam lingkupan polisemi. Makna itu masih ada hubungannya dengan makna asalnya. Sedangkan Keraf (1986 : 87) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perluasan arti (makna yang semula), “Ialah sesuatu proses perubahan makna yang dialami sebuah kata yang mengandung suatu makna yang khusus, kemudian makna  tersebut meluas sehingga melingkupi sebuah kelas makna yang lebih umum”.
Menurut Tarigan (1990 : 86) juga menyatakan generalisasi atau perluasan ialah, “Suatu proses perubahan makna kata dari pada yang lebih khusus kepada yang lebih umum, atau dari pada yang lebih sempit kepada yang lebih luas”
Contoh:
  Kata
  Makna dulu (lebih khusus)
      Makna sekarang (lebih umum)
Baju
Pakaian yang dikenakan dari pinggang ke atas sampai ke bahu dengan bahan kain bukan kaos
Satu set pakaian yang dikenakan
Berlayar
Mengarungi lautan dengan kapal layar
Mengarungi lautan dengan alat apapun
Bapak
Ayah biologis
Sapaan untuk orang yang sudah berkeluarga, orang yang berusia dewasa, atau orang yang dihormati, meskipun bukan ayah biologis.
Odol
Suatu merek pasta gigi
Pasta gigi
Kakak
Saudara kandung yang lebih tua
Sapaan sopan untuk siapa saja yang sedikit lebih tua
Perluasan makna ditandai dengan ruang lingkup makna saat ini lebih luas daripada ruang lingkup makna saat sebelumnya.

B.     Menyempit
Perubahan makna yang menyempit (pengkhususan makna). Yang dimaksud dengan makna yang menyempit (pengkhususan makna) menurut Chaer (1995), Pateda (1986) mengatakan ialah, “gejala yang terjadi pada sebuah kata yang mulanya mempunyai makna yang cukup luas kemudian berubah menjadi makna yang terbatas hanya pada makna tertenu saja”. Sedangkan Keraf (1986:97) menyatakan bahwa penyempitan arti sebuah kata ialah, “sebuah proses yang dialami sebuah kata, yaitu makna yang lama lebih besar, cakupannya dari pada makna yang baru”. Taringan menyatakan juga bahwa, “proses pengkhususan mengacu kepada satu perubahan yang mengakibatkan makna kata menjadi lebih khusus dalam aplikasinya”.

Contoh:
  Kata
     Makna dulu
     (lebih khusus)
        Makna sekarang
         (lebih umum)
Kyai
Orang atau benda yang dianggap sakti atau berilmu tinggi
Ahli agama dan punya pengikut
Sarjana
Orang yang berilmu
Lulusan pendidikan perguruan tinggi strata 1
Gereja
Umat beragama Kristen
Rumah Ibadah agama Kristen dan jemaatnya.
Perluasan makna ditandai dengan ruang lingkup makna saat ini lebih sempit daripada ruang lingkup makna saat sebelumnya.

C.     Perubahan Total
Yang dimaksud dengan perubahan total adalah berubahnya sama sekali makna sebuah kata dari makna asalnya.
Contoh:
  Kata
     Makna dulu
     (lebih khusus)
          Makna sekarang
          (lebih umum)
Percuma
Gratis, cuma-cuma
Sia-sia, tidak ada manfaatnya
Pena
Bulu
Berbagai jenis alat tulis yang menggunakan tinta
Perluasan makna ditandai dengan ruang lingkup makna saat ini sama sekali berbeda dengan ruang lingkup makna saat sebelumnya.

D.    Penghalusan
Penghalusan atau Eufemia adalah penggantian suatu ujaran yang bernulai rasa netral atau kasar dengan ujaran lain yang mempunyai makna sama tapi dianggap mempunyai nilai rasa lebih halus. Makna ujarannya sama, hanya saja diungkapkan dengan kata yang bernilai rasa lebih halus. Gejala bahasa ini umum ada dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Contoh:
Kata bernuansa rasa netral atau kasar
        Kata yang bernilai rasa lebih halus
Mati
Tadi pagi kakek mati.
Meninggal dunia wafat
Tadi pagi kakek meninggal dunia.
Pemecatan
Pemecatan yang dilakukan perusahaan itu disebabkan krisis keuangan.
Pemutusan Hubungan Kerja
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan perusahaan itu     disebabkan krisis keuangan.
Kecelakaan
Tadi malam Pak Adi mengalami kecelakaan.
 Tertimpamusibah
 Tadi malam Pak Adi tertimpa musibah.
Yang berubah dari eufemia bukanlah makna kata atau makna ujaran, melainkan nilai rasa. Makna ujaran dipertahankan tetap. Eufemia adalah kebalikan disfemia.

E.     Penegasan
Pengasaran atau disfemia adalah penggantian suatu ujaran yang bernuansa makna netral atau halus dengan ujaran lain yang mempunyai makna sama tapi dianggap mempunyai nilai rasa lebih kasar. Makna ujarannya tetap dipertahankan sama, hanya saja diungkapkan dengan kata yang bernilai rasa lebih halus. Gejala bahasa ini umum ada dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Contoh:
No
Kata bernuansa rasa netral atau kasar
Kata yang bernilai rasa lebih halus
1
Memasukkan
Tendangannya berhasilmemasukkan bola ke gawang lawan.
Menjebloskan
Tendangannya berhasilmenjebloskan bola ke gawang lawan.
2
Mati
Penjahat itu mati dikeroyok masa.
Modar
Penjahat itu modar dikeroyok masa.
3
Mengambil
Pencuri mengambil televisi Bu Mirah.
Menggondol
Pencuri menggondol televisi Bu Mirah.
Yang berubah dari disfemia bukanlah makna kata atau makna ujaran, melainkan nilai rasa. Makna ujaran dipertahankan tetap.
Disfemia digunakan untuk:
  1. menunjukkan sikap tidak suka, tidak ramah, atau jengkel (lihat kalimat 2 dan 3 pada contoh di atas)
  2. memberikan penekanan yang kuat pada suatu tindakan (lihat kalimat 1)
    Nilai rasa kasar terkadang tidak terasa bila digunakan untuk memberi penekanan kuat.








DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta, 2009.
Prof. Dr. Tarigan Guntur, Henry. Pengajaran Semantik. Bandung : Angkasa, 1985.
anaksastra.blogspot.com/2009/03/relasi-makna.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar